DONGENG PARA EVOLUSIONIS Dengan berdalih sebagai sesuatu yang ilmiah, evolusionis sering mengatakan bahwa “dinosaurus kecil memperoleh sayap dan kemudian menjadi burung.” Akan tetapi, penjelasan mereka tentang bagaimana perubahan ini terjadi hanyalah sebatas dongeng belaka. Seperti yang digambarkan oleh evolusionis ini, mereka mengatakan bahwa dinosaurus yang mengepakkan kaki depannya untuk berburu serangga secara perlahan dan bertahap “berubah menjadi bentuk sayap.” Sebagai sebuah khayalan, skenario ini memunculkan satu pertanyaan menarik: Lalu, bagaimanakah serangga, yang selain sudah dapat terbang juga memperlihatkan kehebatan aerodinamis dengan mengepakkan sayapnya 500 kali per detik secara serempak, dapat memperoleh sayap? |
Beberapa waktu lalu media massa dunia memuat penemuan baru-baru ini tentang sekumpulan fosil di Cina sebagai bukti yang mendukung teori evolusi. Beijing’s Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology mengeluarkan pernyataan bahwa satu dari keenam fosil dalam kelompok tersebut adalah milik seekor “Dino-Bird (burung-dino) bersayap empat” (burung-dino adalah nama makhluk rekaan berbentuk separuh burung separuh dinosaurus, yang diduga sebagai nenek moyang burung). Lembaga ini juga menyatakan bahwa makhluk punah ini dapat terbang, atau setidaknya, bergelantungan di pepohonan. Media masa pendukung Darwinisme sekali lagi melakukan propagandanya habis-habisan meskipun teori ini sama sekali dan telah berulang kali dibuktikan keliru.
Nyatanya, sama sekali tidak terdapat bukti yang mendukung propaganda mereka. Sebab, tidak ada “burung-dino bersayap empat” (makhluk separuh burung separuh dinosaurus) atau data ilmiah apa pun yang mendukung teori evolusi burung dari dinosaurus.
Fosil baru: 20 juta tahun lebih muda dari Archaeopteryx
Archaeopteryx adalah seekor burung yang hidup sekitar 150 juta tahun lalu. Archaeopteryx sangatlah penting karena termasuk burung tertua yang hingga kini pernah ditemukan. Tak seorang ilmuwan pun pernah menemukan fosil burung yang berusia lebih tua dari Archaeopteryx . (Meskipun sebagian kalangan telah mengklaim bahwa fosil Protoavis berusia 225 juta tahun adalah “burung tertua”, namun tesis ini tidak diterima secara luas.)
Selain itu, Archaeopteryx tergolong seekor burung sejati, dengan semua ciri burung yang dimilikinya. Bulu-bulunya yang asimetris sama dengan burung masa kini, termasuk bentuk sayapnya yang sempurna, rangka yang ringan dan berongga, tulang dada yang menyangga otot terbang, serta banyak ciri lainnya yang meyakinkan para ilmuwan bahwa Archaeopteryx adalah seekor burung sejati yang mampu terbang sempurna. (selengkapnya, baca karya Harun Yahya; Darwinism Refuted: How The Theory of Evolution Breaks Down in the Light of Modern Science, Goodword Books, 2003; www.darwinismrefuted.com, www.darwinism-watch.com)
(1). BULU YANG ASIMETRIS: Bulu dari semua burung modern adalah asimetris. Bentuk ini memberikan fungsi aerodinamis bagi burung. Fakta bahwa bulu Archaeopteryx juga asimetris telah menggugurkan pendapat evolusionis bahwa burung ini tidak dapat terbang. (2). FOSIL CONFUCIUSORNIS DAN GAMBAR BURUNGNYA KETIKA MASIH HIDUP: Confuciusornis, yang fosilnya terlihat di sini, hidup dalam periode geologis yang sama dengan Archaeopteryx. Berbeda dengan Archaeopteryx, paruh burung ini tidak bergigi. Penemuan ini mengungkapkan bahwa Archaeopteryx bukanlah "burung primitif", melainkan spesies burung yang sebenarnya. (3). CAKAR HOATZIN: Sejumlah spesies burung yang hidup sekarang memiliki ciri fisik yang serupa dengan Archaeopteryx. Sebagai contoh, burung hoatzin juga memiliki struktur mirip cakar pada sayapnya.? |
Akan tetapi, dua ciri Archaeopteryx yang sangat membedakannya dari burung modern adalah sayapnya yang memiliki cakar, dan gigi pada paruhnya. Karena dua ciri inilah sejak abad ke-19 para evolusionis berupaya menampilkan burung ini sebagai “semi reptilia”. Namun ciri-ciri ini sesungguhnya bukanlah bukti yang menunjukkan kaitan antara Archaeopteryx dan reptilia. Penelitian menunjukkan bahwa Hoatzin, spesies burung yang hingga kini masih hidup, juga memiliki cakar pada sayapnya ketika masih muda. Archaeopteryx bukan pula satu-satunya “burung bergigi”, sebab spesies burung lainnya di masa lalu yang ada dalam catatan fosil juga memiliki gigi, misalnya, Liaoningornis berusia 130 juta tahun juga memiliki gigi pada paruhnya (“Old Bird,” Discover magazine, March 21, 1997).
Jadi, penjelasan para evolusionis bahwa Archaeopteryx adalah sejenis “burung primitif” sungguh keliru, dan para ilmuwan telah menerima bahwa makhluk ini terlihat sangat menyerupai burung masa kini. Profesor ahli burung terkemuka di dunia asal Kansas University, Alan Feduccia, menyatakan, “Kebanyakan mereka yang baru-baru ini mempelajari sifat-sifat anatomis Archaeopteryx, mendapati makhluk tersebut lebih banyak menyerupai burung daripada yang pernah mereka sangka sebelumnya,...”. Propaganda para pendukung Darwinisme telah keliru, dan Feduccia dalam bukunya The Origin and Evolution of Birds (Yale University Press, 1999, hlm. 81) juga telah menyatakan bahwa, hingga baru-baru ini, “kemiripan Archaeopteryx dengan dinosaurus theropoda terlalu dibesar-besarkan.”
Singkatnya, Archaeopteryx adalah burung tertua yang memiliki ciri-ciri yang sama seperti pada burung-burung modern, termasuk dalam hal kemampuan terbangnya. Selain itu, Archaeopteryx berusia sekitar 150 juta tahun.
Permasalahan seputar usia fosil
Archaeopteryx memperlihatkan satu fakta kunci: Burung telah ada sejak 150 juta tahun lalu. Mereka telah mampu terbang. Jika para evolusionis ingin mengemukakan sejumlah “nenek moyang burung,” maka makhluk-makhluk ini haruslah telah hidup sebelum 150 juta tahun lalu.
Satu fakta ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa pernyataan tentang “burung-dino bersayap empat” yang disebarluaskan ke seluruh dunia sangat tidak berdasar dan tidak benar. Sebab, fosil yang diketemukan di Cina dan dinamakan Microraptor gui ini – yang oleh para evolusionis dicoba-tampilkan sebagai “nenek moyang burung-burung primitif” – hanyalah berusia 130 juta tahun, dengan kata lain 20 juta tahun lebih muda dari burung yang diketahui paling tua. Jelas, sama sekali tidak masuk akal untuk menampilkan seekor burung “sebagai nenek moyang burung-burung primitif” ketika terdapat sejumlah burung yang telah terbang 20 juta tahun sebelum makhluk ini ada.
Microraptor gui
Jadi, apakah makhluk yang dinamakan ’Dinosaurus bersayap empat’ (Microraptor gui) ini?
Gagasan "dinosaurus menumbuhkan sayap saat berusaha menangkap serangga yang terbang" bukanlah suatu lelucon, melainkan sebuah teori yang menurut kaum evolusionis amat ilmiah. Contoh ini sudah cukup untuk menunjukkan seberapa serius kita harus menanggapi kaum evolusionis |
Sama halnya, semua fosil “burung-dino” yang dikemukakan sejak awal tahun 1990-an semuanya diragukan keabsahannya. Salah satu dari “dinosaurus berbulu” tersebut, yakni Archaeoraptor, adalah fosil yang dipalsukan. Pengkajian mendalam pada fosil-fosil burung-dino lainnya menunjukkan bahwa “bulu-bulu” mereka ternyata serat-serat yang mengandung kolagen di bawah kulit, demikian dinyatakan dalam majalah Science edisi 14 November 1997. Dalam perkataan Profesor Feduccia, “Banyak dinosaurus telah ditampilkan sebagai makhluk yang tertutupi bulu-bulu yang berpola aerodinamis tanpa disertai bukti apa pun yang mendukungnya.” Dalam bukunya yang terbit tahun 1999, ia menulis, “Pada akhirnya, tak ada dinosaurus berbulu yang pernah ditemukan, meskipun banyak bangkai dinosaurus dengan kulit yang terawetkan dengan baik telah ditemukan di berbagai tempat.”
Begitulah, ketika mencari jawaban sesungguhnya tentang apa itu Microraptor gui, kita harus senantiasa ingat akan sikap para evolusionis yang penuh prasangka dan suka mereka-reka. Makhluk ini mungkin saja memiliki struktur anatomi yang sangat berbeda dengan gambar-gambar “rekonstruksi” yang muncul di media masa.
Hal ini juga telah ditengarai oleh Profesor Alan Feduccia. Dalam sebuah korespondensi baru-baru ini, ia menulis:
“Saya belum yakin bahwa makhluk tersebut bersayap empat; mungkin saja yang nampak oleh kita adalah bulu-bulu burung yang sebenarnya tidak pernah ada, dan ini sungguh sulit untuk ditafsirkan. Ciri-ciri yang menghubungkan hewan ini dengan dromaeosaurus juga sangat meragukan. Yang pasti, ekornya sangat berbeda dengan dromaeosaurus yang pernah diketahui, dan cakarnya tidak berbentuk melengkung, tapi hanya sedikit besar. Juga, bagian pubisnya lebih menyerupai burung. Mungkin kita tidak sedang menyaksikan dromaeosaurus yang dapat terbang, akan tetapi sisa-sisa dari unggas di masa awal… sekitar 20-30 juta tahun jauh sebelum Archaeopteryx.”
Majalah National Geographic menampilkan gambar "burung-dino" seperti ini di tahun 1999, dan menyajikannya ke seluruh dunia sebagai bukti evolusi. Dua tahun kemudian diketahui, bahwa sumber yang mengilhami gambar ini, Archaeoraptor, adalah kebohongan ilmiah. Situs BBC News juga melaporkan kebohongan ini dalam artikelnya yang berjudul ‘Piltdown’ bird fake explained (Pemalsuan burung ‘Piltdown’ terungkap) |
Dan bahkan jika penafsiran tentang Microraptor gui terbukti benar, teori evolusi takkan mendapat pengukuhan apa pun dari hal ini. Sepanjang sejarah, puluhan juta spesies telah hidup dalam rentang spektrum biologis yang sangat lebar, dan banyak dari spesies ini telah punah seiring perjalanan masa. Sebagaimana mamalia terbang yang ada saat ini, seperti kelelawar, di zaman dahulu pun terdapat reptil-reptil bersayap (pterosaurus). Banyak beragam kelompok reptil laut (misalnya ichthyosaurus) hidup di masa lalu dan kemudian punah. Namun yang sungguh mengejutkan tentang spektrum yang lebar ini adalah hewan-hewan dengan ciri dan struktur anatomis berbeda muncul seketika dan dalam bentuk mereka yang telah lengkap sempurna, dan bukan sebagai turunan dari bentuk-bentuk nenek moyang yang lebih primitif. Misalnya, kita saksikan seluruh struktur kompleks burung muncul menjadi ada secara tiba-tiba pada Archaeopteryx. Tidak terdapat “burung-burung primitif” bersayap. Tidak ada “penerbangan primitif.” Keyakinan tentang adanya paru-paru burung primitif juga sungguh tidak mungkin, sebab paru-paru unggas – yang sangat berbeda secara struktural dari paru-paru reptilia dan mamalia – memiliki struktur rumit yang tak tersederhanakan.
Singkatnya, catatan fosil terus saja memperlihatkan kesimpulan bahwa seluruh makhluk hidup muncul di bumi melalui penciptaan, dan bukan evolusi akibat pengaruh alamiah. Pernyataan terakhir tentang burung-dino ini takkan mampu merubah fakta yang ada.