Seorang ibu bersama anak-anaknya (Ilustrasi)
Oleh: Prof Nanat Fatah Natsir
Seorang ibu paruh baya selalu merasa pusing dan badannya panas dingin. Ia pun gelisah dan merasa hidupnya tak pernah tenang. Si ibu itu pun berkali-kali pergi ke dokter umum. Berkali-kali pula ia diobati, tapi sakitnya tak kunjung sembuh. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi.
Ia mencoba pergi ke psikiater karena merasa gelisah dan hidupnya tak tenang. "Apakah Ibu sakit?" Tanya psikiater. "Iya," jawab si ibu. "Tubuh saya panas dingin, pusing, dan selalu gelisah. Sudah berkali-kali ke dokter, tapi tak sembuh-sembuh."
"Apakah Ibu ingin sembuh?" Tanya psikiater. "Tentu saja, saya ingin sembuh," tutur si ibu. "Kalau begitu, coba ceritakan kondisi keluarga Ibu, mulai kecil sampai sekarang," pinta psikiater. Si ibu pun menceritakan latar belakang keluarganya.
"Saya ini 10 bersaudara dan ibu saya sangat menyayangi mereka. Akan tetapi, perlakuan ibu kepada saya agak berbeda, bahkan kalau marah, ibu biasanya membentak-bentak dan menyebut saya bodoh dan bermacam-macam perkataan lain yang menyakitkan," tutur si ibu itu berkisah. Bahkan, ia mengaku pernah dipukuli ibunya.
Di antara saudara-saudaranya yang lain, si ibu itu ternyata hidupnya lebih maju dan sejahtera. "Peristiwa ketika saya kecil itu terus terbayang hingga hari ini. Saya tak bisa melupakannya. Karena itu, saya terus benci dan dendam kepada ibu saya. Tak ada lagi rasa rindu kepada ibu. Padahal, ibu saya sangat rindu dan ingin bertemu, tapi saya tak mau," ujar si ibu.
"Jika ingin sembuh, mulai sekarang hilangkan perasaan dendam dan benci kepada ibumu. Sesungguhnya, itulah sumber penyakit sehingga Anda terus-menerus sakit dan gelisah," saran sang psikiater. Setelah memaafkan semua kesalahan ibunya, rasa gelisah dan pusing yang selalu menghantuinya pun kemudian hilang.
Kisah di atas mengajak kita untuk merenungkan makna yang terkandung dalam surat An-Nuur ayat 22. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada…''
Karena itu, marilah momentum Idul Fitri 1431 H ini kita jadikan sebagai wahana untuk saling memaafkan antara sesama dan berlapang dada sehingga kita semua menutup lembaran lama yang hitam dan membuka lembaran baru yang putih sebagai cerminan sikap orang yang bertakwa kepada Allah SWT.
Maafkanlah dan berlapang dada. Dengan demikian, kita mampu berbuat baik kepada orang yang pernah bersalah kepada kita atau mengembalikan kejahatan dengan kebaikan (wa yadrauna bilhasanati al syayyiah). Dan, saatnya kita berbuat lebih baik kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita. Semoga kita menjadi al-muhsinin. Wallahu 'alam.