Panggilan 'Bung' identik dengan beberapa tokoh sentral negeri ini dalam memperjuangan Kemerdekan Republik Indonesia yakni, Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Tomo. Lalu, dari mana kah asal muasal istilah 'Bung' tersebut ??
Menurut sejarawan Universitas Indonesia JJ Rizal, panggilan Bung mulai dikenal masyarakat Indonesia secara luas di masa kemerdekaan, tepatnya tahun 1945-an. Di masa itu istilah 'Bung' menjadi ruh yang menobatkan diri bahwa kemerdekaan harus direbut dengan cara pasti. Selain itu juga melalui radio pemberontakan, Soetomo berbicara lantang sang 'Bung' menjadi mesiu semangat, hingga saat itu perlawanan berkobar 10 November 1945. Bung Tomo adalah bung dengan penuh kepastian, ketika debat telah mengalir panjang dalam penemuan arti dari kemerdekaan. Kata 'Bung' juga menjadi keteguhan untuk bangkit dan melawan!Dan pada masa itu poster yang terlukis sebagai gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Namun terasa kering bila tidak tertoreh kata-kata di poster itu. Lalu seorang penyair, Chairil Anwar memberi kata "boeng, ajo boeng.” Ketika ditanyakan dari mana ide itu, Chairil Anwar bercerita. Tahu kah kamu bahwa pekerja seks di pasar senen memanggil setiap pria dengan kata “bung ayo bung!” Chairil Anwar menemukan kata bung ayo bung dari kisah kelam para pelacur yang dimana mereka juga ingin merasakan nikmatnya hidup. Sama seperti kita yang juga ingin mencicipi kemerdekaan itu.
Apa pernah terpikir oleh Anda kata itu ternyata digunakan para pelacur-pelacur Jakarta untuk menawarkan dagangannya pada masa itu. Para pelacur itu mencoba merayu para pria dengan panggilan “bung”. Yang ternyata kata itu sangat dekat dengan gelora semangat.Tapi bukan hanya itu saja, kata “bung” juga kerap digunakan dalam puisi dan lagu. Seperti bait akhir dari lagu perjuangan kita “................mari bung rebut kembali!” Kata bung membawa kedalam suasana persatuan, solidaritas, dan nasionalisme.Lalu pada tahun 1980-an salah satu menteri ingin mambangkitkannya lagi. Meminta agar panggilan bung dijadikan sebagai panggilan nasional lagi. Tapi ternyata panggilan “bung” tidak cocok dengan susana politik yang suram, ekonomi yang senjang dan keamanan yang terbelenggu. Namun, bila ditengok dalam kamus besar bahasa Indonesia kata “bung” sebagai sapaan atau panggilan abang. Panggilan akrab untuk kaum laki-laki. Selain itu, ada juga yang mengklaim istilah 'Bung' berasal dari bahasa Bengkulu, yang artinya "kakak". Umumnya, digunakan sebagai panggilan untuk kakak laki-laki yang tertua dalam suatu keluarga. Dan,sejauh ini diketahui bahwa panggilan "Bung" ini sudah dipakai oleh para keluarga di Bengkulu sekitar tahun 1850, jauh sebelum panggilan ini meluas secara nasional. Di samping itu, kata "Bung" digunakan oleh seorang istri untuk memanggil suaminya. Terutama, bila keluarga si istri tidak memiliki kakak laki-laki dalam keluarganya. Dari sinilah kata "Bung" meluas yakni ketika Ibu Fatmawati menikah dengan Ir. Soekarno. Maka, Ir. Soekarno dipanggil Fatmawati dengan panggilan "Bung Karno". Jadi, sapaan "Bung" digunakan secara umum oleh masyarakat Bengkulu. Kata itu dapat digunakan secara bebas dalam ruang lingkup yang luas dengan syarat seperti di atas. Jadi, tidak ada kaitannya dengan jasa.
Tetapi panggilan 'Bung' memang perlahan menghilang, sejak Soeharto menjadi Presiden RI. Encyclopedia Americana volume lama yang terbit tahun 1970-an, secara khusus menulis dalam bab tentang Soeharto, bahwa panggilan Bung, sejak Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI, digantikan dengan panggilan Bapak. Dan, panggilan seperti itu tampaknya sesuai bagi masyarakat Indonesia yang paternalistik.rudi/siska-hotlife/Foto: Istimewa.
“Isi Sumpah Pemuda Sudah Diselewengkan Demi Kepentingan Persatuan”
Sejarah Sumpah Pemuda oleh Sejarawan JJ. Rizal.
Asal-usul Sumpah Pemuda adalah pertemuan antara organisasi pemuda lokal, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Kaoem Betawi, Jong Batak, Jong Celebes, Sekar Roekoen dll. Mereka ini pemuda-pemudi yang pada pertengahan 1920-an mulai mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan adanya gabungan alias federasi dalam rangka persatuan bagi suatu bangsa yang banyak diangankan oleh macam-macam unsur gerakan kebangsaan sejak awal tahun 1920-an yang disebut dengan nama Indonesia.
Dari sanalah kemudian diadakan Konggres Pemuda I di Batavia pada April-Mei 1926. Seorang tokoh muda, Muhammad Yamin, dari Jong Sumatranen Bond memainkan peran historisnya sebagai pemersatu visi nasional. Ia menjadi sosok yang mendorong pergerakan pemuda itu melanjutkan langkah mereka menuju pemuda Indonesia yang ideal yang bersedia pada 28 Oktober 1928 mempelopori suatu langkah pengakuan “bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia…berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; mendjongjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Yamin, dialah tokoh sentralnya. Sebab memang sejak muda – umur 17 tahun – dia telah punya pemikiran soal bagaimana menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan di Sumatra. Lantas, pada umur 24 tahun, ide itu dikembangkan dengan menawarkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan nasional dan visi nasionalis itu dengan rajin dipropagandakannya melalui Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno. Beberapa lagi bisa disebutkan, seperti Soegondo Djojopoespito yang menjadi ketua Konggres Pemuda 1928. Sasterawan terkemuka Armijn Pane, sejarawan Hoesein Djajadiningrat, ahli budaya Poerbatjaraka, tokoh perempuan Siti Soendari dan masih banyak lagi.
Walaupun mereka yang ikut dalam Konggres Pemuda pada 28 Oktober 1928 itu mengikrarkan sumpah “menjoengjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”, tetapi mayoritas mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Rata-rata mereka hanya menguasai bahasa etnik masing-masing dan atau bahasa Belanda. Bahasa pergaulan mereka sebagai kelompok terdidik sekolah-sekolah berbahasa Belanda adalah bahasa Belanda. Memukaunya adalah mereka bersedia untuk meninggalkan kedua bahasa tersebut dan mulai belajar memakai bahasa Indonesia demi komitmen mereka pada persatuan Indonesia.
Selain itu, yang sering tidak diungkapkan adalah bagian komitmen pada bahasa Indonesia itu dikorupsi dengan dihilangkannya kata “menjoengjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia” menjadi “berbahasa satu, bahasa Indonesia”. Aspek penghargaan pada bahasa ibu dilenyapkan, otomatis semangat keberagaman dihilangkan demi persatuan. Artinya sampai disini, isi sumpah pemuda sudah diselewengkan demi kepentingan persatuan. Ini dimulai pada 1940-an, terutama menguat saat Orde Baru Suharto yang monolitis bangkit pada 1966.
Terakhir saya dengar berita kehadiran ibu Johanna Nanap Tumbuan sebagai peserta Konggres Pemuda satu-satunya yang masih hidup dalam perayaan 28 Oktober 1998 di tempat yang sama diselenggrakannya dulu. Saat itu anak petani kelapa yang berhasil di Manado dan dikirim bersekolah di Batavia serta aktif di Jong Celebes. Tetapi, entah sekarang, saya tidak tahu apakah ibu Johanna masih hidup.
Biogarfi JJ. Rizal :
JJ RIZAL adalah sejarawan yang terlibat sebagai intelektual publik dengan aktif menyikapi persoalan-persoalan di tengah masyarakat melalui tulisan-tulisan di berbagai media cetak dan nara sumber untuk beberapa stasiun radio dan TV.
Ia lahir di Jakarta, 1975. Menyelesaikan kuliah di Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Setelah lulus pada 1998 dengan skripsi “Sitor Situmorang: Biografi Politik 1956-1967”, ia mendirikan Penerbit Komunitas Bambu (Kobam- www.komunitasbambu.com) yang menjadi sedikit dari penerbit di Indonesia yang secara khusus menggarap buku-buku ilmu pengetahuan budaya dan humaniora. Selama 2001 - 2006 ia menjadi kolomnis sejarah Batavia-Betawi-Jakarta di sebuah majalah Internasional yang berpusat di Belanda, MOESSON Het Indisch Maandbladdi Belanda. Pada 2009 ia mendapat Anugerah Budaya Gubernur DKI Jakarta.