Membaca buku pak Toto Tasmara selalu membuat saya kagum bukan main kepada beliau. Tulisannya benar-benar unik. Puitis, penuh perenungan, menebar semangat, wah.. pokoknya mantabs lah…! Kali ini buku berjudul “BROTHERHOOD” untuk kesekian kalinya saya baca ulang. Masih tetap punya daya tarik. Luar biasa. Saya sampe punya dua nih bukunya [uh.. mubadzir]. Yang satu masih disegel. Ada yang mau? [waaaaa.. pada ngacungin tangan semua. Bingung...! ngasih ke yang ini, yang itu cemberut. Ngasih ke yang itu, yang ini manyun. Dari dulu bingung mau ngadain kuis, tapi kayak gimana yach? supaya adil maksudnya gituh...]
Sejak dari kata pengantar, pak Toto sudah menebar aura kecemerlangannya dalam menulis. Jadi kali ini, saya postingkan saja potongan kata pengantar buku BROTHERHOOD, karya K.H. Toto Tasmara [mudah-mudahan Allah merahmati beliau]
* * *
Ingin kusampaikan kerinduan yang terus menderu dan memburu akan nilai persaudaraan ukhuwah islamiyah. Kerinduanku sungguh tak terperi menunggu manusia pilihan yang mampu mengikat jiwa yang bergetar mendambakan persatuan umat, ittihadul ummah. Kerinduanku terus mengetuk diri yang dahaganya belum terpuaskan untuk mereguk dan menebar benih cinta di antara kita. Jiwaku bagaikan tersayat setiap saat melihat kehidupan. Akhlak dan nilai persaudaraan telah menjadi arsip kuno yang kusam, bahkan tak segan diremas dan dicampakkan. Wajah-wajah welas asih telah berubah mewujudkan dirinya dalam amarah dan keserakahan
Memang, sesekali kudengar nyanyian merdu tentang kesederhanaan dan persaudaraan, tetapi berulang kali kusaksikan orang-orang yang jiwanya terpenjara, terperangkap dalam perburuan kemewahan seraya menebar racun perseteruan. Ukuran persaudaraan adalah kekayaan, sedangkan akhlaqul karimah telah tersingkir bagaikan batu penghalang mencapai keberhasilan. Ingin kusampaikan kepadamu bila persaudaraan memanggilmu, ikutilah dengan rasa rindu. Walau dalam perjalanan harus melintasi batu-batu duka yang membuta jiwa, didera deru derita sekalipun! Karena rintihanmu yang penuh duka akan berujung pada kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Bila persaudaraan memelukmu, pasrahkan dirimu kepadanya walau engkau tak mendapatkan harta dan pujian. Bagaikan lilin, kaku tebarkan cahaya, walau tubuhnya hancur tak berbentuk. Persaudaraan sejati bagaikan kaum Anshar yang rela mendahulukan kebahagiaan bagi saudaranya, kaum Muhajirin. Karena bagi perindu Illahi, bukan dunia tempat pemberhentiannya. Bagi pencari cinta, justru dalam persaudaraan itu ia dapatkan wewangiannya. Bagaikan lebah yang berjumpa dengan bunga merekah. Mereka saling memberi. Lebah yang rendah hati tak akan mematahkan ranting yang dihinggapinya. Sang bunga rela melepaskan putik sarinya karena dengan memberi, ia akan menunggu ranumnya bebuahan. Sang lebah membalasnya dengan madu yang menambah hidup semakin berwarna.
Belajarlah dari mereka tentang makna persaudaraan. Cinta sejati bukanlah ingin mengambil, tetapi bahagia berbagi dan memberi. Bila kau berhitung mengambil keuntungan dari persaudaraanmu engkau sedang berdagang dengan menampakkan wajah yang memelas dan sapaan yang sopan. Sebuah kepura-puraan yang sejati. Bila tak diperoleh keuntungan dari pertemuan itu, kau palingkan mukamu dan kau anggap pertemuanmu itu sia-sia. Jiwamu sungguh dangkal dan kering. Menganggap persaudaraan sebagai komoditas, barang dagangan!
Tidak! Persaudaraan sejati tidak dapat diukur dengan seberapa banyak kau mendapatkan, tetapi berapa banyak engkau memberikan!
Kemudian, kulihat mesjid-mesjid dibangun saling berdekatan. Kusaksikan pada pemuda yang mukhlis menjajakan kotak-kotak derma untuk membangun rumah Tuhan, tetapi dengan hati yang pedih, kusaksikan mesjid yang kehilangan ruh. Bagaikan kuburan cina, indah dan mahal bangunannya, luas tanahnya, tetapi sepi dan mencengkam ketika malam hari mendekapinya. Di rumah Tuhan, tidak kudapatkan lagi kehangatan akhlaq, manisnya persaudaraan dan membaranya api jihad. Syukurlah di hari Jum’at, rumah Tuhan sesak pengunjungnya, tetapi sekedar gerak kompak dalam shalat, sabar menahan kantuk dibelai khotbah. Setelah bubar dan masing-masing diantara kita kembali menjadi orang-orang asing, tak lagi peduli siapa jamaah disebelahnya. Padahal diantara mereka ada sepenggal hati yang guncang. Ada perut yang perih menahan lapar. Ada yang terpenjara dalam belitan utang. Kita belum berjamaah. Bagaikan kerumunan manusia menyaksikan kecelakaan. Mereka saling berkomentar, tetapi masing-masing larut mencekam bahkan enggan bertegur sapa, apalagi membelah jiwa mendengar rintihan saudaranya.
Saat ini kulihat rumah-rumah Tuhan hanyalah terminal tempat kita asyik sendiri melepaskan lelah batin, tanpa memberi ruang untuk tegur sapa dan merendanya dalam cinta persaudaraan. Di rumah Tuhan, tidak ada lagi orang yang kehilangan saudaranya, tidak ada tanya kemanakah gerangan si fulan? Memang suara adzan bersahutan dari menara ke menara, tak lupa dilengkapi loudspeaker paling mutakhir, tetapi hanya mampu mengumpulkan jumlah bilangan manusia, tak mampu mengikat hati mereka.
* * *
Kalimat yang benar-benar menggugah. Sehingga judul postingan ini berbunyi :
“Mana Bukti Persaudaraanmu?”
[sambil menunjuk ke dalam diri sendiri]