Keberadaan batu mulia pernah membuat wilayah Banjar gempar. Pada 47 tahun silam, tepatnya 26 Agustus 1965, ditemukan sebuah intan cukup besar. Banyak yang berpendapat, intan temuan kelompok pendulang yang diketuai H Madsalam itu seukuran telur burung merpati. Lokasinya di Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, yang kini masuk ke wilayah Banjarbaru (dulu wilayah Kabupaten Banjar dengan ibu kota Martapura).
Intan yang diberi nama Trisakti oleh presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu disebut-sebut memiliki berat 166,75 karat. Harganya saat itu, menurut Tajuddin Noor Ganie, penulis buku Tragedi Intan Trisakti, Selasa (16/10), ditaksir mencapai Rp 10 triliun dan meroket setelah diasah menjadi berlian.
Para penemunya yang berjumlah 43 orang mendapat ganti senilai Rp 3,5 miliar. Namun, karena ada sanering (perubahan nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1), akhirnya uang yang diterima hanya Rp 3,5 juta. Uang balas jasa ini kemudian dipakai untuk naik haji bagi penemu dan keluarganya serta pihak lain yang terlibat, semuanya berjumlah sekitar 80 orang.
Misteri
Kini keberadaan intan tersebut menjadi misteri. Namun, beberapa pedagang yang ditemui di pasar permata Cahaya Bumi Selamat di kota Martapura (berjarak sekitar 5 kilometer dari Cempaka), akhir pekan lalu, yakin bahwa Trisakti ada di salah satu museum di Belanda. Penemunya, kata Tajuddin, hanya melihat sekali benda itu saat ditemukan. Setelah itu, sang intan langsung dibawa ke Jakarta.
Selepas itu, nyaris belum pernah ditemukan lagi intan yang bisa mengalahkan kemasyhuran Trisakti. Penemuan intan berukuran lebih besar pernah terjadi, tetapi kegemparannya belum bisa menyamai. Sebut saja intan Putri Malu seberat 200 karat yang ditemukan di Antaruku, Kecamatan Pengaron, tahun 2008, atau yang lebih kecil intan Galuh Cempaka 5 sebesar 106 karat di Cempaka tahun 1850, dan Galuh Pumpung 98 karat yang juga ditemukan di Cempaka tahun 1990.
Menurut pendulang, temuan lainnya rata-rata berukuran relatif kecil. Jani (40), pendulang, menunjukkan batu transparan mirip kaca seukuran biji kedelai sedikit kusam. Batu yang diyakini sebagai intan mentah itu hanya dibungkus kertas pembungkus rokok dan disimpan dalam saku celananya.
”Besarnya sekitar 1 karat atau 200 miligram. Kalau dijual, harganya sekitar Rp 4 juta,” ujarnya. Jani tidak pelit menunjukkan hasil temuannya kepada orang lain, baik yang sekadar ingin tahu maupun yang bermaksud membeli. Kawasan pendulangan intan Cempaka telah dicanangkan sebagai daerah tujuan wisata sejak tahun 1990-an. Karena itu, hampir setiap hari ada pengunjung, baik domestik maupun mancanegara.
Sungai Tiung merupakan salah satu kawasan pendulangan di Cempaka yang sampai saat ini masih ramai dengan kegiatan mencari intan, kecuali pada musim hujan saat semuanya libur. Daerah lainnya ada di Pumpung, Karawat, Ujung Murung, dan Danau Purun. Pendulangan di luar Cempaka juga ada, tetapi tidak begitu terkenal, seperti di Bumi Rata, Simpang Empat; Pengaron; serta Danau Pagar dan Jambunau di Riam Kanan.
Selain menjual kepada wisatawan atau pedagang batu mulia yang datang ke lokasi, hasil pendulangan juga dijual ke Pasar Cahaya Bumi Selamat. Yazid, pemilik Gerai Permata Zamrud Grup yang berada di Blok C, menuturkan, berlian berkualitas bagus tersedia di pasar ini. Harganya bervariasi, mulai dari jutaan sampai ratusan juta rupiah, bahkan miliaran rupiah. ”Yang berkualitas bagus dan banyak dicari biasanya 0,5 karat ke atas. Harganya bisa di atas Rp 10 juta,” ujarnya.
Kolonial Belanda
Kapan asal mula pendulangan intan Cempaka, tak ada yang tahu persis. Sejumlah sumber menyebutkan, pendulangan itu sudah ada sejak zaman kolonial dan berlangsung secara turun- temurun. Pendulang yakin, yang memiliki inisiatif mengeksploitasi adalah Belanda, dengan mempekerjakan warga setempat. Saat itu warga belum tahu batuan di sekitar mereka bernilai tinggi. Versi lain menyebutkan, intan sudah dieksploitasi sejak abad IX, tetapi lokasinya jauh di utara Cempaka.
Dalam buku Borneo 1843 terbitan Bentara Budaya disebutkan, seorang penjelajah asal Hindia Belanda, Dr CALM Schwaner, melakukan penelitian di sekitar Sungai Barito dan Kahayan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah pada 1843-1847.
Apa yang dilihat Schwaner dituangkan dalam dua jilid buku yang dilengkapi lukisan litografi karya CW Mieling S Hage. Pada jilid I Borneo Beschruving van Het Stroomgebied van Den Barito, terdapat lukisan yang menggambarkan aktivitas pendulangan intan di Sungai Martapura. Pendulangan menggunakan linggangan, alat berbentuk kerucut mirip caping terbalik.
Di kawasan pendulangan pernah berdiri perusahaan tambang berskala besar, tetapi tidak bertahan lama, antara lain PT Aneka Tambang pada 1970-an dan PT Galuh Cempaka Banjarbaru tahun 1999-2001.
sumber