Sebuah pemerintahan wajib menjamin akan kelayakan kehidupan rakyat yang dipimpinnya, karena itulah pemerintah yang berkuasa wajib untuk memperhatikan kebutuhan sarana publik yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh rakyatnya seluas-luasnya.
Untuk penyediaan dan atau penjaminan akan kelayakan kehidupan rakyatnya tentu saja dibutuhkan dana yang tidak sedikit, oleh karena itu marilah kita tengok dahulu bagaimana penyediaan dana untuk kemakmuran rakyat ini pada masa Rosul saw dan ke khalifaan sesudah beliau.
Pada era kepemimpinan Rosul Muhammad saw. Beliau adalah pemimpin Negara dan pemutus segala keperluan rakyat, di masa kepemimpinan beliau dana hasil dari rakyat berupa zakat maupun ghaniyah (harta rampasan perang) langsung ditangani oleh beliau, dana yang masuk pada pagi hari maka disore hari sudah habis beliau bagikan kepada umatnya, dan begitu pula sebaliknya harta yang terkumpul di sore hari maka di pagi hari juga sudah beres dibagi kepada umat beliau.
Pada masa kekhalifaan yang pertama muncul istilah Baitul Maal, karena pada awal era kekhalifaan pengaruh islam semakin luas dan semakin banyak yang menyerahkan zakat kepada khalifa, karena itu Abu Bakar as shidiq berinisiatif untuk membuat sebuah tempat khusus untuk menyimpan harta zakat tersebut karena harta zakat tersebut tak habis dibagikan pada umat dalam waktu satu hari.
Kemudian pada masa kepemimpinan Umar bin Khatab ra. Islam semakin menyebar luas dan harta zakat yang dikirimkan ke pusat pemerintahan Madinah semakin banyak begitu pula juga dengan harta rampasan perang jumlahnya juga semakin besar. sehingga diambil keputusan untuk menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.
Eksistensi lembaga Baitul Mal pada awalnya merupakan konsekwensi profesionalitas manajemen yang dilakukan pengelola zakat (amil). Namun ia juga merefleksikan ruang lingkup Islam, dimana Islam didefinisikan juga sebagai agama dan pemerintahan, qur’an dan kekuasaan, sehingga Baitul Mal menjadi salah satu komponen yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan kekuasaan dari negara. Jadi ketika juga negara harus mengelola penerimaan-penerimaan negara baik yang diatur oleh syariah maupun yang didapat berdasarkan kondisi pada saat itu, negara membutuhkan lembaga yang menghimpun, mengelola dan mendistribusikan akumulasi dana negara tersebut untuk kepentingan negara, baik penggunaan yang memang diatur oleh syariah atau juga yang merupakan prioritas pembangunan ketika itu. Lebih lengkapnya penggunaan dana-dana yang terkumpul dalam Baitul Mal sudah dijabarkan pada bahasan anggaran negara pada bab ini.
G.1.1. Hirarki Organisasi dan Operasionalnya
Pada masa Umar bin Abdul Azis, dalam oparasionalnya institusi Baitul Mal dibagi menjadi beberapa departemen. Pembagian departemen dilakukan berdasarkan pos-pos penerimaan yang dimiliki oleh Baitul Mal sebagai bendahara negara. Sehingga departemen yang menangani zakat berbeda dengan yang mengelola khums, Jizyah, Kharaj dan seterusnya.
Yusuf Qardhawy (1988) membagi baitul mal menjadi empat bagian (divisi) kerja berdasarkan pos penerimaannya, merujuk pada aplikasi masa Islam klasik :
1. Departemen khusus untuk sedekah (zakat).
2. Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti.
3. Departemen khusus untuk ghanimah dan rikaz.
4. Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui warisnya atau yang terputus hak warisnya (misalnya karena pembunuhan).
Hal ini sebenarnya juga telah diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah, beliau mengungkapkan bahwa dalam adminstrasi keuangan Negara, dalam Baitul Mal telah dibentuk beberapa departemen yang dikenal dengan Diwan (dewan). Dewan-dewan tersebut diantaranya:
1. Diwan al Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri dan tentara.
2. Diwan al Jawali wal Mawarits al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll taxes (jizyah) dan harta tanpa ahli waris.
3. Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk memungut kharaj.
4. Diwan al Hilali yang berfungsi mengkoleksi pajak bulanan.
Pada hakikatnya pengembangan institusi dan kebijakan dalam ekonomi Islam tidak memiliki ketentuan baku kecuali apa yang telah digariskan dalam syariat. Khususnya dalam pembentukan departemen dan kebijakan strategi pengkoleksian dan penggunaan pendapatan Negara, sebenarnya juga tergantung pada perkembangan atau kondisi perekonomian Negara pada satu waktu tertentu. Artinya pengembangan institusi dan kebijakan ekonomi tidaklah terikat pada apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin terdahulu, peran ijtihad dengan mempertimbangkan keadaan kontemporer menjadi sangat menentukan arah dan bentuk institusi dan kebijakan ekonomi.
Merujuk pada apa yang telah dijelaskan oleh Qardhawi tentang institusi Baitul Mal, dalam operasionalnya, salah satu kebijakan pengelolaan pendapatan Negara adalah ketika dana yang dimiliki departemen sedekah (zakat) yang fungsinya memenuhi kebutuhan dasar warga negara kurang, maka dapat menggunakan dana dari departemen lain yaitu departemen pajak dan upeti. Namun pada masa klasik Islam hal ini dilakukan dengan skema hutang, artinya jika suatu saat departemen sedekah sudah memiliki kecukupan dana, maka hutang tadi harus dilunasi pada departemen pajak dan upeti. Tahapan penggunaan keuangan negara ini sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya, dimana sumber keuangan negara utama adalah zakat, kemudian fay’ dan pajak. Jika masih juga kekurangan maka negara akan melakukan skema takaful, dimana semua harta dikumpulkan negara dan dibagikan sama rata.
Sumber: disadur dari http://abiaqsa.blogspot.com/2007/09/baitul-mal-dalam-keuangan-publik.html