Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki dakwah
Salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya dakwah tersebut di atas sunnah
yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu.
Pada keadaan seperti itu, para penuntut ilmu syar’i juga telah mengetahui
secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syarat
terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga
sayarat-syarat lain, yang sekarang kami tidak membicarakannya dan
menyebutkannya. Termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan
para perawi yang terpercaya. Maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke
dalam dakwah Salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih,
harus memiliki silsilah dakwah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil
manhajnya dari para masyayaikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masayaikhnya
adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayaikhnya, dan
seterusnya. Orang yang datang kemudian, mengambil dari orang yang sebelumnya.
Seorang murid mengambil dari syaikhnya. Anak mengambil dari ayah, cucu
mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung kepada orang-orang yang
terpercaya dari kalangan ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat
majlis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari
topik pembicaraan majlis.
Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana-sini, mengaku-ngaku bermanhaj Salaf dan mengaku-ngaku menjalankah sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah-masalah manhaj dan perkara-perkara aqidahnyanya. Disamping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal (terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang-kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih)..
Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan-pengakuan mereka. Sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan-persangkaan dan pemikiran-pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara-saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik-baiknya.
Memang dakwah kita berdiri diatas silsilah (mata rantai) para ulama terpercaya. Ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu meniadakan perubahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang-orang yang berbuat kebatilan, dan penta’wilan orang-orang bodoh”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yahmilu hadza al-ilma’ = adalah fi’il mudhari (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan datang), memberikan faidah terus menerus dan berkesinambungan. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘min kulli kholafinin’ = dari setiap generasi. Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi (sejak dahulu dan sesudahnya), tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah. Orang yang menolong Allah Azza wa Jalla dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang-orang yang menghinakannya sampai terjadi Kiamat dan mereka tetap dalam keadaannya demikian”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ laa yazaalu “(senantiasa} juga memberi faedah terus menerus. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “ilaa an taqumu as-saa’ah” (sampai terjadi kiamat), menguatkan kepada faidah tersebut.
Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang-kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang). Kadang-kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang didakwahkan oleh ulama-ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar-pembesar kita dalam dakwahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimah Allah dan menegakkan kebenaran.
Wahai saudara-saudara fillah …
Sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama-ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.
Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majlis yang panjang. Bahkan beberapa majlis, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Tetapi, mukaddimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih sebagiannya untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian (bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan), pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Kita akan membicarakan dalam waktu yang pendek ini beberapa petikan singkat yang berkaitan dengan ulama-ulama dakwah Salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang. Beberapa ulamanya yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh berkah ini.
Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka pondasi pertama dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh penyair.
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas.
IMAM AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH
Dia hidup pada masa bergelombangnya aqidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya : “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!”. Dia berkata : “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh ?”.
Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari imam kita. Mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia. Menjaga mereka untuk kita, ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimanan, dan amanahnya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan laranganNya dan perintahNya.
Pribadi Imam Ahmad juga mempengaruhi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Pada zaman ini banyak orang menisbatkan kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, “Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin”, setelah menyebut aqidah Ahlus Sunnah Ashabul Hadits : “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya”. Atau seperti apa yang dia katakan.
Disini kami menngingatkan suatu hal, yaitu banyak orang-orang khusus maupun orang-orang umum menisbatkan dirinya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya tidak menisbatkan kepadanya, baik dalam aqidah maupun manhajnya.
Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham Mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata : “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian bersaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham Mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini”. Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam mentaati Allah.
Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudara fillah, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Keberhasilan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan. Pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham Mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham Mu’tazilah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya.
Setelah itu, dalam kitabnya “Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah”, dan dalam kitabnya “Maqalat” yang sudah saya isyaratkan tadi, juga dalam kitabnya “Risalah ila Ahli Tsaghar”, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia diatas aqidah Salafiyah.
Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Mereka itu tidak berada pada jalan Mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan Salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari Mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abu Hasan dan menyelisihi aqidah Salaf, yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut.
Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam petikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya. Dia adalah ulama besar sepanjang sejarah dakwah ini pada abad-abad pertama.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari materi ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari]
Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana-sini, mengaku-ngaku bermanhaj Salaf dan mengaku-ngaku menjalankah sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah-masalah manhaj dan perkara-perkara aqidahnyanya. Disamping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal (terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang-kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih)..
Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan-pengakuan mereka. Sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan-persangkaan dan pemikiran-pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara-saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik-baiknya.
Memang dakwah kita berdiri diatas silsilah (mata rantai) para ulama terpercaya. Ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu meniadakan perubahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang-orang yang berbuat kebatilan, dan penta’wilan orang-orang bodoh”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yahmilu hadza al-ilma’ = adalah fi’il mudhari (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan datang), memberikan faidah terus menerus dan berkesinambungan. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘min kulli kholafinin’ = dari setiap generasi. Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi (sejak dahulu dan sesudahnya), tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah. Orang yang menolong Allah Azza wa Jalla dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang-orang yang menghinakannya sampai terjadi Kiamat dan mereka tetap dalam keadaannya demikian”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ laa yazaalu “(senantiasa} juga memberi faedah terus menerus. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “ilaa an taqumu as-saa’ah” (sampai terjadi kiamat), menguatkan kepada faidah tersebut.
Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang-kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang). Kadang-kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang didakwahkan oleh ulama-ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar-pembesar kita dalam dakwahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimah Allah dan menegakkan kebenaran.
Wahai saudara-saudara fillah …
Sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama-ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.
Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majlis yang panjang. Bahkan beberapa majlis, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Tetapi, mukaddimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih sebagiannya untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian (bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan), pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Kita akan membicarakan dalam waktu yang pendek ini beberapa petikan singkat yang berkaitan dengan ulama-ulama dakwah Salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang. Beberapa ulamanya yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh berkah ini.
Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka pondasi pertama dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh penyair.
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas.
IMAM AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH
Dia hidup pada masa bergelombangnya aqidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya : “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!”. Dia berkata : “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh ?”.
Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari imam kita. Mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia. Menjaga mereka untuk kita, ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimanan, dan amanahnya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan laranganNya dan perintahNya.
Pribadi Imam Ahmad juga mempengaruhi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Pada zaman ini banyak orang menisbatkan kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, “Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin”, setelah menyebut aqidah Ahlus Sunnah Ashabul Hadits : “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya”. Atau seperti apa yang dia katakan.
Disini kami menngingatkan suatu hal, yaitu banyak orang-orang khusus maupun orang-orang umum menisbatkan dirinya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya tidak menisbatkan kepadanya, baik dalam aqidah maupun manhajnya.
Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham Mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata : “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian bersaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham Mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini”. Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam mentaati Allah.
Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudara fillah, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Keberhasilan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan. Pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham Mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham Mu’tazilah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya.
Setelah itu, dalam kitabnya “Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah”, dan dalam kitabnya “Maqalat” yang sudah saya isyaratkan tadi, juga dalam kitabnya “Risalah ila Ahli Tsaghar”, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia diatas aqidah Salafiyah.
Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Mereka itu tidak berada pada jalan Mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan Salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari Mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abu Hasan dan menyelisihi aqidah Salaf, yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut.
Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam petikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya. Dia adalah ulama besar sepanjang sejarah dakwah ini pada abad-abad pertama.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari materi ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari]