Berkeluarga : Kearifan Dalam Perbedaan

Suatu ketika, ‘Imran bin Hathan sedang bercinta bersama istrinya.
‘Imran adalah seorang yang buruk bentuknya, kotor, wajahnya berjerawat, dan pendek tubuhnya. Sedangkan istrinya adalah wanita yang berparas cantik. Semakin dipandang, semakin cantik. Hingga ia ingin terus menerus memandangi wajah menawan itu.
Sang istri bertanya, “Ada apa denganmu?”
‘Imran menjawab, “Segala puji bagi Allah. Sungguh Engkau semakin bertambah cantik.”
Sang istri menjawab, “Bergembiralah, sesungguhnya aku dan kamu akan masuk surga.”
‘Imran berkata, “Dari mana kamu tahu hal itu?”
Si istri menjawab, “Orang yang bersyukur dan bersabar akan masuk surga. Dan Allah telah menjadikan kita sebagai suami istri yang bisa bersyukur dan bersabar. Aku diberi cobaan dengan orang sepertimu dan aku bersabar atas cobaan tersebut. Dan kamu mendapat istri sepertiku dan kamu bersyukur karenanya.”

Membaca cerita itu, aku suka ketawa geli. Lucu, tapi menginspirasi. Pernah iseng-iseng nanya ke Shalihah, istriku, “Di antara kita siapa yang bersyukur dan siapa yang bersabar?”
“Pasti Mas yang bersyukur dan aku yang bersabar! Yesss!!!”
Untuk pertanyaan iseng-iseng memang tak perlu dijawab dengan romantis dan diplomatis. Hehe..
Kita menikah karena kita berbeda. Karena pada dasarnya tak ada yang sama. Kalau semua serba sama, rasa-rasanya tak perlu menikah. Andaipun menikah, mungkin akan menjadi hambar, tak ada tantangan, tak ada yang perlu kita tahu karena kita sudah tahu. Sudah sama!

Demikianlah tabiat kehidupan yang kita jalani, yang kemudian aku berusaha menerima. Manis pahitnya perbedaan dan kekurangan, inilah realita dan kita kudu menerimanya. Mau tidak mau, suka tidak suka. Tak bisa kita menipu diri bahwa dalam hidup itu semuanya sempurna. Kesempurnaan hanya ada di surga dan dalam lamunan saja. Ada waktu-waktu bahagia, ada waktu-waktu duka, adalah hal biasa.

Yang terpenting saling memahami, melengkapi, dan menguatkan satu sama lain. Memahami perbedaan psikologis, saling mencintai, dan toleransi. Tidak berbuat dzalim dan memvonis pasangan. Jika suami dan istri bisa memahami hal ini, insyaAllah semua akan baik-baik saja. Manusia terkadang buruk dalam memahami sesuatu. Terkadang salah dan terkadang benar, dalam menyimpulkan. Give the benefit of the doubt. Marilah kita saling memahami satu sama lain. Saling toleran dan berusaha agar hidup secara lebih mulia daripada sebelumnya...

Orangtua kita bisa seperti saat ini setelah melewati ‘proses’ saling bersyukur dan bersabar dalam waktu yang cukup lama. Bahkan puluhan tahun berusaha tegar ketika masalah terus membadai dalam rumah tangga.
Tentang perbedaan dan mungkin kekurangan-kekurangan dia, Well, she is not perfect. I’m not perfect. Kalau dia bisa hidup dengan dengan semua kekurangan-kekurangan saya. Kenapa saya tidak?

Berkeluarga adalah satu proses panjang untuk tidak hanya mengompromikan semua perbedaan dan kekurangan masing-masing, melainkan juga berupaya menerima semua kekurangan yang ada, apa adanya. Tidak hanya antara suami dan istri, tetapi juga terhadap anak-anak.
Berupaya menerima dengan keikhlasan sepenuhnya, rasanya akan memberi kelegaan dan kelapangan dalam hati, ketimbang terus menuntut pasangan hidup kita berubah 100% sesuai keinginan kita. Menerima dengan ikhlas juga merupakan bentuk kebesaran hati untuk mengakui bahwa sebagai pribadi, we are not perfect!

Memahami ini, 
Menghadirkan kebahagiaan. Sebuah letup kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di jasad.
Memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apapun masalah yang membadai rumah tangga kita.
Membawakan senyum meski airmata menitik-nitik.
Menyergapkan rindu di tengah kejengkelan.
Menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah.
Meniupkan cinta: ruh yang mengalir lembut, menyenangkan, bersinar, jernih, dan ceria.

Barakallah....

karya : Dosen Statistik STIE IKABAMA JAMBI " Dosen ane gan ". semoga menginspirasi

Recent Posts

comments powered by Disqus