Imam Ibnu Malik al-Andalusy, Pakar Gramatika Kelas Dunia

Imam Ibnu Malik al-Andalusy, Pakar Gramatika Kelas Dunia
Ia dikenal sebagai ahli gramatika. Kehebatannya diakui ulama sezamannya. Bahkan, menurut catatan sejarah, ia malah melampaui para pendahulunya. Ia menulis banyak kitab. Hampir seluruh karangannya membahas gramatika Arab. Hebatnya, kitabnya tidak hanya naratif, tapi juga berbentuk lagu. Sungguh model tulisan yang susah untuk ditiru. Salah satu karangannya adalah kitab al-Khulashah yang akrab disebut Alfiyyah. Terdiri dari 1002 bait yang disusun rapi sehingga mudah dipahami. Berabad-abad, dalam soal gramatika, kitab ini menjadi rujukan inti. Baik bagi pemula maupun para ahli.
Dialah Imam ibn Malik. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad ibn Abdillah ibn Malik al-Tho’i al-Jayaniy al-Andalusy. Ia lahir pada 600 Hijriah di daerah Jayyan, Andalusia (Spanyol). Sejak kecil, ia akrab dipanggil Muhammad atau Jamaluddin. Namun, belakangan, ia tenar dengan sebutan Ibnu Malik. Nama Malik dinisbatkan pada kakeknya. Hal itu dilakukan untuk menghormati (taaddub) Nabi Muhammad SAW karena kesamaan nama diri dan orang tuanya dengan Nabi (Muhammad dan Abdullah). Dan, lagi pula, Ibnu Malik memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama kekeknya dari pada ayahnya.
Ibnu Malik dikenal cerdas dan haus ilmu. Ia tekun belajar dan rajin berguru. Ia sempat merantau ke Halab dan Damaskus untuk menimba pengetahuan. Karena itu, ia mempunyai banyak guru. Di antaranya adalah Abu al-Mudhaffar Tsabit ibn Muhammad al-Kula’i (sebagai pembimbing ilmu arabiyyah), Abdullah ibn Malik al-Marsyani (pakar ilmu arabiyyah), Ibn Yaits, Ibn Amrun, Abu al-Abbas Ahmad ibn Nawar, Ibn al-Hajib, Abu Shodiq al-Hasan ibn Shobbah dan sebagainya.
Ibnu Malik dikenal cepat mengingat dan mampu menyerap pengetahuan dengan lekas. Ia mempelajari berbagai ilmu agama. Mulai dari Tafsir, Hadits, Ulumul Qur’an, Fiqh, Nahwu (ilmu tentang cara baca kalam arab) wa Sharf (ilmu tentang derivasi dan perubahan kata Arab) dan lainnya. Ia mampu menghafal Qira’ah Sab’ah beserta alasan-alasannya. Tak luput juga kosakata Arab. Karena itu, ia mampu membedakan kata yang layak pakai atau ditangguhkan. Bahkan, ia sempat menghafal beberapa kalam Arab.
Penguasaannya akan seluk beluk agama dan (khususnya) bahasa Arab memang luar biasa. Karena itu, tak aneh kalau pada perkembangan berikutnya, Ibnu Malik pun tenar sebagai pakar gramatika. Kehebatannya dalam ilmu ini membuat orang tercengang. Baik ulama dahulu maupun generasinya mengakui kemampuannya yang cemerlang. Banyak orang berguru kepadanya. Bahkan, untuk menghormatinya, Imam Ibnu Kholkan, Mufti dan Qadli besar pada saat itu, selalu menjadi ma’mumnya dalam berjama’ah. Tak berhenti di situ, Qadli ini selalu mengawal Ibnu Malik pulang ke rumah.
Kemunculan Ibnu Malik sebagai seorang ulama yang alim dan faqih memang tak bisa lepas dari konteks zamannya. Pada masa itu, situasi sosial-politik-ekonomi di Damaskus sangat mendukung perkembangan pengetahuan. Tak tanggung-tanggung, penguasa waktu itu rela menggelontorkan banyak dana untuk menggerakkan roda peradaban. Pembangunan diprioritaskan pada aspek pendidikan. Para pejabat teras pun tak ketinggalan. Mereka terpacu untuk membangun pusat-pusat pengetahuan.
Kondisi yang kondusif itu pada akhirnya memacu lahirnya banyak karya. Makin maraklah penyusunan dan penerbitan kitab yang meliputi berbagai area. Mulai dari linguistik, akhlaq, sastra dan ilmu agama lainnya. Di saat yang sama, banyak sekolah dan madrasah didirikan. Jumlah muridnya pun sangat besar. Hal ini menantang para pengajar dan ulama untuk membuat teori pengajaran yang memudahkan para murid untuk menghafal dan memahami pelajaran.
Maka, lahirlah berbagai nadham (syi’ir/lagu) dalam penyusunan kitab dari beragam disiplin ilmu. Bahkan, satu ilmu memunculkan variasi lagu. Pilihan pada bentuk nadham ini bukannya tanpa alasan. Sudah menjadi kecenderungan umum, menghafal dalam bentuk lagu lebih mudah dilakukan dari pada menghafal teori dalam bentuk narasi. Hal ini karena nadham-nadham tersebut mengandung nada-nada yang enak untuk dinikmati. Meski di saat yang sama, menyusun nadham juga jauh lebih sulit dari pada menulis narasi.
Dan, Ibnu Malik adalah satu satu pakar nadham pada saat itu. Ia tidak menemukan kesulitan berarti dalam menyusun kitab dengan model ini. Tak syak lagi, beberapa kitabnya pun disusun dalam bentuk nadham. Tak main-main, jangankan ratusan, nadham kitabnya mencapai ribuan. Sebut saja kitab al-Kafiyah al-Syafiyah yang mencapai 2757 bait. Juga kitab al-A’lam bi Mutsallats al-Kalam yang berisi 3000 bait. Sungguh kemampuan yang fenomenal.
Imam Ibnu Malik dikenal produktif menulis banyak kitab. Dan, hampir semua kitabnya berbicara tentang gramatika Arab. Di antaranya adalah al-Umdah dan syarh-nya (penjelasan), al-Tashil dan syarh-nya, Lamiyah al-Af’al, al-Taudhih fi I’rabi Musykilatin min al-Jami’ al-Shohih, al-Nadhmu al-Aujaz dan syarh-nya, al-Fawaid al-Nahwiyyah, ‘Uddatu al-Hafidh wa umdah al-Lafidh fi al-Nahwi, Ijaz al-Ta’ruf fi ‘Ilm al-Tashrif, Sabak al-Mandhum wa fakk al-Makhtum fi al-Nahwi, kitab al-arudl dan sebagainya.
Kitab lainnya yang terkenal adalah al-Khulashah yang kemudian dikenal dengan kitab Alfiyyah ibnu Malik. Kitab ini merupakan ringkasan kitab al-Kafiyah, terdiri dari 1002 bait. Namun, sering disebut 1000 bait karena 2 bait yang tak terhitung adalah contoh-contoh, bukan kaidah inti. Kitab itu membahas detail aturan gramatika Arab. Mulai dari karakterisktik kata benda (isim), kata kerja (fi’il), objek / sasaran (maf’ul) yang punya banyak variasi, harful jarr beserta faidah-faidahnya, aturan membuat plural (jama’), mengucap panggilan (nida’) dan sebagainya. Sebagai kitab gramatika, Alfiyyah terbilang lengkap. Hampir semua aturan bahasa Arab tercakup di dalamnya. 
Tak hanya itu, bait-bait dalam kitab ini juga menggambarkan sifat manusia. Meski secara leksikal adalah kaidah bahasa Arab, sering kali mengandung isyarat. Di antaranya adalah tentang keberanian mengatasi ketakutan, adab memanggil seseorang, ilmu ladunny (dapat memperoleh pengetahuan tanpa belajar) yang hanya dimiliki sedikit orang, keharusan orang untuk beristiqamah dalam kebaikan dan sebagainya.
Ada cerita menarik seputar kitab ini. Sebagaimana kitab umumnya, kitab ini dimulai dengan muqaddimah (pembukaan) yang terdiri dari 7 bait. Ibnu Malik memulai dengan memuji Allah dan mengucap shalawat kepada Nabi. Dengan rendah hati, pada bait berikutnya, ia menulis bahwa Alfiyyah yang ia susun melampaui kitab Alfiyyah karangan imam ibnu Mu’thi, pakar gramatika sebelum Ibnu Malik (faiqatan alfiyyata ibn Mu’thi). Sampai pada bait ini, ia sempat berhenti karena takut mengidap penyakit sombong (takabbur). Namun, setelah beberapa saat, ia mampu melanjutkan bait kitab ini sampai selesai.
Di Indonesia, kitab ini dibaca hampir seluruh warga pesantren dan sekolah/madrasah untuk mendalami ilmu Nahw dan Sharf. Sebab, kitab ini merupakan salah satu kitab Nahw dan Sharf terlengkap dibanding kitab lain yang umum beredar di Indonesia. Sebut saja kitab al-Ajrumiyyah (karangan imam al-Ajrumy), Umrithy (250 bait) (karangan imam al-’Umrithy) dan Mutammimah (karangan Imam Syamsuddin Muhammad ibn Syaikh Muhammad al-Ro’iny). Kitab Alfiyyah ini menempati urutan teratas, baik kelengkapan maupun tingkat kesulitannya.
Kitab ini banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Salah satu terjemahan yang terkenal adalah karya KH. Bisri Musthofa, ayahanda KH. Musthofa Bisri. Kitab terjemahan ini berbahasa Jawa. Karena bahasanya yang familiar dan mudah dicerna, kitab ini pun menjadi acuan dalam mempelajari Alfiyyah. Sebab, tak jarang, KH. Bisri Musthofa memberikan penjelasan yang mendalam dalam beberapa soal.
Semasa hidupnya, Imam Ibnu Malik mendedikasikan hidupnya untuk membenahi dan meluruskan bahasa Arab. Sehingga, ia didaulat menjadi imam ilm arabiyyah (imam ilmu bahasa Arab). Ia menjadi rujukan dalam soal lughat al-arabiyyah (kosa kata Arab) dan nahw wa sharf.
Kehebatannya diakui oleh para ulama pada masa itu. Di samping ahli gramatika, Ibnu Malik juga dikenal sebagai ahli ibadah. Ia benar-benar menjaga akhlak dan rajin melakukan ibadah sunnah. Ia sempat ditunjuk menjadi imam besar di daerah al-Adiyah.
Imam Ibnu Malik wafat pada 672 H, usia 72 tahun. Ia dimakamkan di Damaskus, kota yang menempa dan membesarkan dirinya. Bagi peminat pengetahuan, kepergiannya adalah kerugian yang tak terkira. Ialah ulama besar dengan sumbangsih ilmu yang sangat berharga. Ia telah menulis banyak karya. Penguasaannya akan gramatika membuat namanya terkenal di jagad raya, sebagai pakar gramatika kelas dunia. (M. Khoirul Muqtafa)

Sunan Muria, Belajar Bersama Rakyat

Sunan Muria, Belajar Bersama Rakyat
Masjid Sunan Muria
Sunan Muria dikenal sebagai sunan rakyat jelata. Ia akrab dan hidup di tengah-tengah mereka. Ia tak sudi menghambakan diri pada kekayaan dan kekuasaan. Di saat, para wali lain hidup di pusat kota, ia malah mengasingkan diri di daerah pegunungan. Namun, ia tak meninggalkan dakwah Islam. Justru, “pengasingan” itulah yang menjadikannya dai yang ramah dan toleran.
Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Prawoto, putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan literatur keagamaan. Juga kesenian. Nampaknya, ia menuruni bakat ayahnya yang gandrung akan kesenian.
Berbeda dengan ayahnya yang berdakwah dengan berkeliling di daerah abangan, Sunan Muria banyak bertugas di daerah Kudus. Terutama bagian utara, di lereng Gunung Muria. Itu karena ia memang memfokuskan diri pada daerah yang jauh dari pusat kota atau keramaian. Ia tinggal dan mendirikan sebuah pesantren di sana. Konon, ia sengaja mencari tempat terpencil karena hidup di tengah kota jauh lebih banyak cobaannya dibanding hidup di daerah terpencil.
Di samping itu, memang sudah wataknya suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa, berbaur bersama rakyat jelata. Sebab itulah, ia sengaja memilih lereng Gunung Muria sebagai tempat berdakwah. Berbeda dengan Kudus bagian tengah yang mengalami kemajuan secara infrastruktur. Tempat itu terletak 18 km di sebelah utara pusat kota Kudus. Meski demikian, putra Sunan Kalijaga itu juga rajin berdakwah di daerah tetangganya seperti Jepara, Tayu, Juana dan Pati.
Metode dakwah yang dipakai oleh Sunan Muria adalah mengadakan kursus-kursus pada kaum dagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Itu sangatlah efektif karena mereka adalah kaum pekerja yang tidak bisa berkumpul setiap saat. Dengan memberikan kursus, maka mereka bisa meluangkan waktu khusus untuk belajar agama. Di samping itu, tak jarang, Sunan Muria juga mengajarkan berbagai keterampilan seperti bercocok tanam, berdagang, dan melaut kepada rakyat.
Jalan kesenian untuk memperakrab masyarakat dengan Islam juga tak ia tinggalkan. Kabarnya, Sunan Murialah yang mempertahankan tetap berlangsungnya gamelan sebagai media dakwah. Baginya, bermain gamelan dengan menembang bisa dipergunakan untuk memasukkan nuansa ke-Islam-an di dalamnya. Nampaknya, ia paham betul, bahwa masyarakat yang dihadapi memang masyarakat yang benar-benar abangan dan masih susah meninggalkan tradisi.
Apalagi, berdakwah di lereng Muria. Sebagian besar mereka adalah pemeluk Hindu taat yang “lari” dari dakwah Sunan Kudus di sekitar Menara. Itu menjadi bukti bahwa tidak mudah mendekati mereka. Karena itulah jalur kesenian tetap harus dipergunakan. Dengan jalan itu, ia bermaksud membuat masyarakat di sekitarnya merasa nyaman, sehingga lebih bisa menerima dan mencerna ajaran-ajaran untuk mengingat Allah SWT.
Sunan Muria rajin mengarang tembang-tembang Jawa untuk memperkuat ingatan masyarakat akan nilai-niali Islam. Bahkan, ia dikenal sebagai pencipta tembang Sinom dan Kinanti. Tembangnya yang populer dilantunkan dalang pada zaman sekarang adalah Sinom Parijotho. Parijotho adalah nama tumbuhan yang hidup di lereng Muria.
Sebagai salah seorang anggota walisongo, ia juga sangat berperan dalam membangun Kerajaan Demak. Ia merupakan salah satu pendiri dan penyokong yang setia. Bahkan karena wataknya yang halus dan ramah serta berpikiran luas, ia sering diminta untuk memecahkan berbagai masalah. Konon, betapa pun rumitnya masalah itu, Sunan Muria mampu meberikan jalan yang terbaik.
Ia juga sering diminta menjadi penengah dalam berbagai konflik. Termasuk konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Sebagaimana tertulis dalam sejarah, sepeninggal Raden Fatah, Kesultanan Demak menjadi geger karena banyak yang memperebutkan takhta kerajaan tersebut. Tercatat, sekitar empat kali Demak mengalami pergantian pimpinan. Hebatnya, solusi pemecahan yang ditawarkan oleh Sunan Muria selalu dapat diterima oleh pihak-pihak yang berseteru.
Sunan Muria menikah dengan Dewi Roroyoo, putri gurunya, Ki Ageng Ngerang. Konon, ia diambil mantu gurunya setelah melalui sayembara. Suatu ketika, Ki Ageng Ngerang melaksanakan tasyakuran ulangtahun anaknya, Dewi Roroyono yang genap berusia 20 tahun. Banyak tamu yang datang. Termasuk para adipati. Karena tertarik akan kecantikan Dewi Roroyono, banyak tamu yang berdecak kagum. Sehingga, sebagian dari mereka yang tidak tahu diri mencari jalan untuk menggodanya. Karena tak sudi dengan ulah tamu yang berangasan, Dewi Roroyono pun tak meladeninya.
Pada malamnya, timbul masalah. Dewi Roroyono hilang dari kamarnya. Ternyata, ia diculik oleh salah seorang adipati yang menjadi tamu malam itu. Kontan, itu membuat geger. Lalu, diadakanlah sayembara. Barang siapa yang mampu mengembalikan Dewi Roroyono, berhak memperistrinya. Sunan Muria pun menyanggupinya. Setelah berusaha mencari, akhirnya Sunan Muria menemukan tempat persembunyian penculik tersebut. Iapun berhasil memboyong pulang Dewi Roroyono dan kemudian menikahinya. Dari pernikahan itu, Sunan Muria memperoleh seorang putra yang diberi nama Pangeran Santri, dan kemudian mendapat julukan sebagai Sunan Ngadilungu.
Sunan Muria wafat dan dimakamkan di Desa Colo pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut. Berbeda dengan para wali lain yang makamnya dikelilingi oleh para punggawanya, makam Sunan Muria terlihat menyendiri. Justru para murid yang membantunya dalam berdakwah dimakamkan di tempat yang agak jauh dari makamnya. Itu mungkin disebabkan oleh wataknya yang selalu suka menyendiri.
Sebagaimana makam para wali lain, makam Sunan Muria juga banyak diziarahi, baik dari dalam kota maupun luar kota. Tempatnya yang terjal, tidak menyurutkan para peziarah untuk napak tilas perjalanannya. Pengunjungnya tetap membludak, terutama pada hari libur dan upacara Buka Luwur yang diselenggarakan setiap 6 Muharam. Karena letaknya di lereng gunung, maka untuk mencapai komplek itu ditempuh dengan jalan kaki melewati sekitar 700 undakan (trap) mulai dari pintu gerbang di dekat lokasi parkir mobil/bus. Bisa juga dengan menumpang ojek dengan biaya sekali jalan sekitar Rp. 8000.
Komplek makam Sunan Muria telah dipugar beberapa kali. Karena itu hanya beberapa bagianlah yang masih utuh. Arealnya juga diperluas, terutama di bagian sebelah kanan makam. Banyak bangunan baru, seperti bangunan tempat minum air peninggalan Sunan Muria dan lainnya. Seiring dengan pemugaran dan penambahan bangunan, para penjaga dan karyawan pun bertambah. Kepengurusannya dikelola oleh Yayasan Sunan Muria yang bertempat di sebelah luarnya. (M. Khoirul Muqtafa)

Sayyid Abdullah al-Haddad: Mujaddid Sufi Abad Ke-17

Sayyid Abdullah al-Haddad: Mujaddid Sufi Abad Ke-17
Ilustrasi
Ia dikenal sebagai seorang mujaddid Islam. Meski sejak kecil mengalami kebutaan, ia tak pernah berhenti belajar. Pemikirannya begitu matang dan mudah dicerna masyarakat awam. Ia juga menulis banyak karya dengan tema beragam. Dalam kehidupan beragama, pandangannya dikenal ramah dan toleran. Dialah Sayyid Abdullah al-Haddad.
Ia di lahirkan di kota Tarim Hadhramaut pada 5 shafar 1044 H. Ayahnya, Sayyid ‘Alwi bin Muhammad Al-Haddad adalah seorang yang dikenal alim dan saleh. Ibunya seorang syarifah (keturunan langsung perempuan Nabi) bernama Syarifah Salma. Tidak seperti anak-anak lainnya, al-Haddad menghabiskan masa kecilnya untuk menghafal al-Quran, mujahadah al-nafs, dan mencari ilmu. Itu karena saat berusia empat tahun ia terkena cacar yang mengakibatkan kebutaan.
Sejak kecil, ia sudah tertarik dengan dunia sufi. Bahkan, ia selalu “membaca” kitab-kitab Al-Ghazali atau diwan-diwan para ahli dzauq (para sufi). Pada masa itu, ia sudah mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit, seperti mengkaji pemikiran Syaikh Ibn Al-Faridh, Ibn ‘Arabi dan Ibnu ‘Atha’illah. Ia dikenal sebagai murid yang cerdas. Karena itulah, guru-guru al-Haddad selalu memintanya untuk tetap mendampingi ketika majelis sudah usai. Nampaknya, gurunya melihat bakat yang luar biasa pada diri al-Haddad.
Dan memang, isyarat bahwa al-Haddad akan menjadi orang besar sebenarnya sudah diketahui sebelum ia dilahirkan. Suatu ketika, Sayyid ‘Alwi mendatangi rumah seorang ‘Alim bernama ‘Arif billah Sayyid Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi (kakek dari ibu Al-Haddad). Dalam pertemuan itu, al-Habsyi berkata ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan“. Awalnya, Sayyid Alwi heran mendengar kata-kata ini. Sampai lama, ia tidak mengerti maksud perkataan al-Habsyi. Namun, setelah lahirnya Al-Haddad, ia baru faham. Ia mengatakan, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat ucapan Sayyid Ahmad al-Habsyi. Setelah lahirnya Abdullah, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar al-wilayah (kewalian)”.
Menginjak remaja, pengetahuan al-Haddad tentang sufi kian matang. Bahkan, pemikirannya kerap dijadikan rujukan. Pada usia 25 tahun saja, ia sudah mampu menghasilkan sebuah karya penting. Buku itu bertajukRisalah al-Muzakarah ma’a Al-Ikhwan Al-Muhibbin min Ahl Al-Khair wa Al-Din. Di dalam buku ini ada beberapa nama besar seperti Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Al-Gazhali, dan beberapa pemikiran para ulama salaf. Pada umur yang sama, ia juga menyelesaikan tulisan yang berjudul Risalah Al-Muawanah wa Al-Muzhaharah yang ditulis sebagai konsumsi masyarakat awam.
Tak berhenti di situ, pada usia 27 tahun, al-Haddad diminta salah seorang tokoh dari kota Syibam untuk menulis sebuah buku pegangan bagi para pengikut tarekat shufiyyah. Buku itu menjelaskan dasar-dasar sebagai murid yang baik, dan langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam mengarungi dunia tarekat. Sejak buku itu dibaca oleh umum, makin terlihat sosok ketokohan Al-Haddad dalam masalah-masalah sufistik.
Makin maraklah pertemuan-pertemuan ilmiyah yang mendiskusikan buku tersebut. Korespondensi seputar masalah sufistik juga mengalir deras. Sebab itulah, empat bulan setelah penulisan buku tersebut, ia menerbitkan karyanya yang lain, Ittihaf al-Sail bi Jawab al-Masail. Kitab itu memuat berbagai macam pertanyaan berkisar tentang makna tauhid dalam kaitannya dengan salik (perambah sufi) dan wasil, tentang masalah hudhur, fana, hubungan antara ilmu dan hal, hal dan maqam, dan sebagainya.
Namun, kedukaan menerpanya. Pada usia 28, ayah al-Haddad wafat. Tak lama kemudian, ibunya menyusul, pada tahun yang sama, 1072 H. Selanjutnya, ia diambil oleh salah seorang gurunya, Sayyid ‘Umar bin Abd al-Rahman al-‘Aththas. Di bawah bimbingan gurunya ini, pengetahuan al-Haddad bertambah luas.
Setelah menulis beberapa kitab, pandangan al-Haddad seputar masalah sufistik mulai jadi perhatian. Di antara pandangan sufistiknya adalah, seseorang baru bisa dikatakan sufi apabila amal, perkataan, niat, dan moralnya bersih (shafa) dari berbagai macam penyakit hati, seperti riya’, sum’ah, dan sejenisnya. Secara lahir maupun batin, ia selalu ingat dan taat kepada Allah, serta memutuskan segala sesuatu yang dapat melupakan-Nya, baik itu berkaitan dengan keluarga, harta, kedudukan, maupun lainnya. Seorang sufi melakukan semua itu dengan berdasarkan ilmu, al-Quran, sunnah, serta tuntunan para salaf, yang sampai ke derajat kesempurnaan sebagai sufi.
Batasan sufi ala al-Haddad ini nampak begitu sederhana. Namun, sejatinya susah untuk dicapai. Kiranya, dengan penjelasan itu, ia hendak menyindir para pengaku sufi yang sebenarnya belum mampu mencapai maqam-nya. Sebab, kebanyakan dari mereka masih menggantungkan diri pada dunia, pada harta, jabatan atau pun kekuasaan. Mereka juga masih menuruti nafsu sehingga susah untuk membersihkan diri dari penyakit hati.
Seakan tak mau berhenti, meski telah menghasilkan banyak kitab fenomenal, al-Haddad terus menulis. Pada usianya yang ke-45, ia menulis al-Nasa’ih Al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah yang membahas masalah akidah, fiqih, dan akhlak. Pembahasannya mengikuti metode penulis kitab Ihya’Ulum Al-Din sehingga kitab ini terkesan sebagai ringkasan kitab besutan al-Ghazali itu. Menginjak 56 tahun, al-Haddad menulis Sabil al-Idzdzikar bi ma yamurru bi Al-Insan wa Yanqadhli lahu min Al-A’mar. Menurut riwayat lain, kitab itu ditulis pada usianya yang ke 60 atau 63.
Pada usia 70 tahun, al-Hadad mulai menyelesaikan tulisannya tentang berbagai aspek kehidupan, baik sosial keagamaan, politik ekonomi maupun lainnya. Pada usia ke-81, tepatnya pada pagi hari Kamis, bulan Dzulqa’dah, tahun 1255 H, ia menyelesaikan kitab Al-Nafais Al-Uluwiyyah fi Al-Masail Al-Shufiyyah. Kitab sufistik ini dinilai lebih berbobot. Di antara masalah yang dibahas adalah al-khawatir (kecondongan-kecondongan) bagi seorang wasil (yang telah sampai kepada Allah) dalam kaitannya dengan masalah al-farq dan al-jam’u, hukum perbuatan seorang arif, al-qutb atau al-ghaus tentang hukum khalwah, ‘uzlah, tentang libas al-firqah, tentang batasan al-shidq dan derajat al-shiddiqiyah, tentang af’al al-ibad, dan lain-lain.
Di samping kitab-kitab tersebut, masih banyak kitab-kitab lain yang ditulisnya. Di antaranya adalah kitab Al-Da’wah Al-Tammah, kitab Al-Majmu’, kitab Al-Fushul Al-Ilmiyyah wa Al-ushul Al-Hikamiyyah, kitab Al-Nafayis Al-Ulwiyah fi Al-Masayil Al-Shufiyyah, kitab Risalatul Adab Suluk al-Murid, Al-Fatawa, Al-Durru Al-Manzhum li Dzawi Al-Uqul wa Al-Fuhum, Al-Hikam, Tatsbit Al-Fua’d, dan masih banyak lagi.
Syaikh Al-Haddad juga dikenal sebagai penyair dalam diwan syairnya, al-Durru al-Manzhum li Dzawi al-Uqul wa al-Fuhum yang disusun berdasarkan abjad. Salah satu syairnya di-syarah-i oleh muridnya, Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi dalam bukunya Syarh Al-Ainiyyat (syarah syair-syair yang berakhiran huruf ‘ain). Dalam syarah ini terlihat jelas tentang siapa saja yang dianggfap salaf oleh al-Haddad dan beberapa pendapatnya tentang masalah sufistik. Sebelum wafat, al-Haddad sempat membaca kitab Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makky. Al-Haddad dimakamkan di pemakaman Zanbal, yang dikenal juga dengan pemakaman al-Fuqara’.
Al-Haddad dikenal sebagai seorang sufi yang mencapai derajat tinggi dalam tasawwuf, baik hal dan maqal-nya. Ia dikenal sebagai pembaharu Thariqat ‘Alawiyyah. Di tangannya, thariqat itu dirumuskan menjadi lebih sistematis dan jelas sehingga dapat dijadikan langkah dasar untuk mempersiapkan diri memasuki pemikiran sufistik kaum khawwash. Al-Haddad juga mampu meletakkan thariqat alawiyyah sebagai penyeimbang pendidikan riyadhah al-Qulub ala Imam al-Syadzili dan riyadhah al-Abdan ala Imam al-Ghazali.
Semasa hidupnya, al-Haddad mampu menerjemahkan pemikirannya dalam bahasa masyarakat zamannya sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya. Ia dikenal sangat toleran terhadap pola kehidupan beragama. Ia merupakan tokoh pada masanya yang mampu menempatkan diri, baik sebagai da’i, syaikh, maupun pemikir, sehingga ia membumi di masyarakat. Karena itulah, banyak yang menganggap al-Haddad sebagai seorang mujaddid abad ke-17, tokoh pembaharu yang datang tiap 100 tahun. (Khoirul Muqtafa)

Telur atau Singkong?

Telur atau Singkong?
Soichiro Honda
Simaklah kisah orang-orang sukses. Sebelum mereka menggapai keberhasilan, rangkaian penderitaan hidup menimpa mereka. Soichiro Honda, misalnya. Keluarganya miskin, wajahnya tidak tampan, fisiknya lemah, dan ia sering jatuh sakit. Akibatnya, Soichiro kerap rendah diri di hadapan teman-teman sebayanya. Selama belajar, tak pernah ia duduk di kursi terdepan, dan selalu menjauh dari pandangan guru. Ia sering mendapat nilai jelek. Berbagai pekerjaan ia lakoni: dari petugas kebersihan hingga mengasuh bayi.
Ketika mulai berbisnis, dua kali pabriknya ludes terbakar. Tapi ia tak putus asa. Soichiro bangkit dari keterpurukan. Hasilnya: Honda menjadi salah satu raja otomotif di dunia, hingga kini.
Dalam hidup ini, kesulitan dan kesenangan ibarat sepasang mata uang yang akan datang silih berganti. Persoalannya, teramat banyak orang yang tak mampu lulus dari penderitaan. Ketika ada masalah sedikit, kita menjadi lemah, tak bersemangat dan putus asa. Padahal, boleh jadi itu adalah cara Allah untuk menjadikan kita kuat, tegar dan sukses.
Persis seperti kalimat pesan pendek yang dikirimkan istri saya. “Allah selalu memberi apa yang kita butuhkan; bukan apa yang kita inginkan. Kita meminta kekuatan, justru Allah memberi kita kesulitan agar menjadi tegar. Ketika kita meminta kebijaksanaan, maka Allah memberi kita masalah untuk diselesaikan. Di saat kita meminta kekayaan, maka Tuhan memberi kita tenaga dan pikiran untuk bekerja.”
Sayangnya, kerap kali kita tak menyadari itu. Kita ingin segala sesuatunya serba instan. Tak mau ada proses panjang untuk meraih kesuksesan. Tak mau ada kesulitan utnuk menggapai keberhasilan. Tak mau ada duri untuk melewati jalan kemenangan.
Kebanyakan di antara kita lebih suka menjadi singkong daripada telur. Perhatikan baik-baik kedua makanan itu setelah direbus di atas api dan di dalam air panas nan mendidih. Singkong, yang semula keras, menjadi empuk dan lembek setelah direbus. Sebaliknya dengan telur, menjadi keras setelah direbus.
Proses perebusan pada singkong dan telur sesungguhnya adalah ujian, cobaan, atapun kesulitan hidup yang dialami manusia. Setelah selesai proses tersebut, hanya ada dua pilihan: menjadi lembek seperti singkong atau menjadi keras seperti telur. Orang-orang sukses adalah mereka yang memilih menjadi telur. Sedangkan orang-orang kalah adalah mereka yang memilih menjadi singkong. Bagaimana dengan Anda, mau jadi telur atau singkong?

Pribadi Solutif

Pribadi Solutif
Saat ini bangsa Indonesia tengah dirundung oleh berbagai macam problematika kehidupan yang sangat kompleks, mulai dari kemiskinan, bencana alam hingga kemerosotan akhlak. Data jumlah orang miskin sebagai contoh, meskipun menurut BPS mengalami penurunan dari waktu ke waktu, namun angkanya masih sangat tinggi, yaitu berada pada kisaran 31 juta jiwa pada tahun ini.
Demikian pula dengan angka kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat dalam kurun waktu satu dekade terakhir, sebagaimana yang diindikasikan oleh peningkatan rasio Gini, dari 0,311 pada tahun 1999 menjadi 0,368 pada tahun 2008 (BPS, 2009).
Yang juga tidak kalah mirisnya adalah terjadinya degradasi akhlak dan moralitas bangsa di semua lini kehidupan masyarakat. Kehidupan bebas dan permisif seolah-olah telah menjadi bagian dari budaya bangsa. Pornografi tidak lagi dipandang sebagai sebuah bentuk kejahatan, tetapi malah dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang harus dijamin dan dilestarikan.
Kompleksitas persoalan ini kemudian diperparah oleh beragam peristiwa bencana alam yang seolah-olah datang tiada henti. Musibah banjir di Wasior, Papua Barat, yang terjadi dalam beberapa hari terakhir, semakin menambah daftar panjang bencana alam yang telah menimpa bangsa Indonesia. Akankah kita semua terus menurus terpuruk seperti ini? Tentu saja kita tidak ingin selamanya berada dalam kubangan persoalan tersebut.
Agar kita bisa memecahkan beragam persoalan tersebut, maka keberadaan pribadi-pribadi solutif, yang saling berhimpun dan bekerjasama dalam semangat kebersamaan dan persaudaraan, menjadi sangat strategis. Pribadi solutif adalah pribadi yang mampu memberikan jawaban terhadap segala persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Melalui sinergi pribadi-pribadi solutif inilah, muncul ha rapan besar bagi perbaikan bangsa ke arah yang lebih baik.
Ada beberapa ciri dari pribadi solutif ini. Pertama, senantiasa memadukan antara proses berpikir dengan berdzikir pada Allah SWT (QS 3 : 190-191). Sinergi dzikir dengan pikir merupakan kunci bagi lahirnya ilmu yang bermanfaat, yang akan memberikan dampak positif, tidak hanya pada individu yang bersangkutan, namun juga kepada masyarakat secara keseluruhan.
Kedua, menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran (QS 5: 100), meskipun berada pada situasi yang sangat sulit. Komitmen ini akan melahirkan sikap amanah, yang merupakan pintu utama bagi turunnya rezeki dan keberkahan dari Allah SWT (HR Abu Daud).
Ketiga, memiliki keberpihakan yang kuat kepada kaum lemah. Pribadi solutif adalah pribadi yang memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang sangat tinggi, karena ia meyakini bahwa pertolongan Allah akan turun melalui pembelaan terhadap kaum dhuafa (al-hadits). Bentuk kepedulian tersebut tercermin antara lain dari kesediannya untuk senantiasa berbagi, baik harta melalui zakat, infak dan shadaqah, pikiran maupun tenaga, yang dilandasi oleh keimanan dan keikhlasan karena mengharap ridho Allah semata. Wallahu a’lam.
* Dewan Aqidah dan Syariah ESQ LC, Ketua Umum BAZNAS

Recent Posts

comments powered by Disqus