Ia dikenal sebagai ahli gramatika. Kehebatannya diakui ulama sezamannya. Bahkan, menurut catatan sejarah, ia malah melampaui para pendahulunya. Ia menulis banyak kitab. Hampir seluruh karangannya membahas gramatika Arab. Hebatnya, kitabnya tidak hanya naratif, tapi juga berbentuk lagu. Sungguh model tulisan yang susah untuk ditiru. Salah satu karangannya adalah kitab al-Khulashah yang akrab disebut Alfiyyah. Terdiri dari 1002 bait yang disusun rapi sehingga mudah dipahami. Berabad-abad, dalam soal gramatika, kitab ini menjadi rujukan inti. Baik bagi pemula maupun para ahli.
Dialah Imam ibn Malik. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad ibn Abdillah ibn Malik al-Tho’i al-Jayaniy al-Andalusy. Ia lahir pada 600 Hijriah di daerah Jayyan, Andalusia (Spanyol). Sejak kecil, ia akrab dipanggil Muhammad atau Jamaluddin. Namun, belakangan, ia tenar dengan sebutan Ibnu Malik. Nama Malik dinisbatkan pada kakeknya. Hal itu dilakukan untuk menghormati (taaddub) Nabi Muhammad SAW karena kesamaan nama diri dan orang tuanya dengan Nabi (Muhammad dan Abdullah). Dan, lagi pula, Ibnu Malik memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama kekeknya dari pada ayahnya.
Ibnu Malik dikenal cerdas dan haus ilmu. Ia tekun belajar dan rajin berguru. Ia sempat merantau ke Halab dan Damaskus untuk menimba pengetahuan. Karena itu, ia mempunyai banyak guru. Di antaranya adalah Abu al-Mudhaffar Tsabit ibn Muhammad al-Kula’i (sebagai pembimbing ilmu arabiyyah), Abdullah ibn Malik al-Marsyani (pakar ilmu arabiyyah), Ibn Yaits, Ibn Amrun, Abu al-Abbas Ahmad ibn Nawar, Ibn al-Hajib, Abu Shodiq al-Hasan ibn Shobbah dan sebagainya.
Ibnu Malik dikenal cepat mengingat dan mampu menyerap pengetahuan dengan lekas. Ia mempelajari berbagai ilmu agama. Mulai dari Tafsir, Hadits, Ulumul Qur’an, Fiqh, Nahwu (ilmu tentang cara baca kalam arab) wa Sharf (ilmu tentang derivasi dan perubahan kata Arab) dan lainnya. Ia mampu menghafal Qira’ah Sab’ah beserta alasan-alasannya. Tak luput juga kosakata Arab. Karena itu, ia mampu membedakan kata yang layak pakai atau ditangguhkan. Bahkan, ia sempat menghafal beberapa kalam Arab.
Penguasaannya akan seluk beluk agama dan (khususnya) bahasa Arab memang luar biasa. Karena itu, tak aneh kalau pada perkembangan berikutnya, Ibnu Malik pun tenar sebagai pakar gramatika. Kehebatannya dalam ilmu ini membuat orang tercengang. Baik ulama dahulu maupun generasinya mengakui kemampuannya yang cemerlang. Banyak orang berguru kepadanya. Bahkan, untuk menghormatinya, Imam Ibnu Kholkan, Mufti dan Qadli besar pada saat itu, selalu menjadi ma’mumnya dalam berjama’ah. Tak berhenti di situ, Qadli ini selalu mengawal Ibnu Malik pulang ke rumah.
Kemunculan Ibnu Malik sebagai seorang ulama yang alim dan faqih memang tak bisa lepas dari konteks zamannya. Pada masa itu, situasi sosial-politik-ekonomi di Damaskus sangat mendukung perkembangan pengetahuan. Tak tanggung-tanggung, penguasa waktu itu rela menggelontorkan banyak dana untuk menggerakkan roda peradaban. Pembangunan diprioritaskan pada aspek pendidikan. Para pejabat teras pun tak ketinggalan. Mereka terpacu untuk membangun pusat-pusat pengetahuan.
Kondisi yang kondusif itu pada akhirnya memacu lahirnya banyak karya. Makin maraklah penyusunan dan penerbitan kitab yang meliputi berbagai area. Mulai dari linguistik, akhlaq, sastra dan ilmu agama lainnya. Di saat yang sama, banyak sekolah dan madrasah didirikan. Jumlah muridnya pun sangat besar. Hal ini menantang para pengajar dan ulama untuk membuat teori pengajaran yang memudahkan para murid untuk menghafal dan memahami pelajaran.
Maka, lahirlah berbagai nadham (syi’ir/lagu) dalam penyusunan kitab dari beragam disiplin ilmu. Bahkan, satu ilmu memunculkan variasi lagu. Pilihan pada bentuk nadham ini bukannya tanpa alasan. Sudah menjadi kecenderungan umum, menghafal dalam bentuk lagu lebih mudah dilakukan dari pada menghafal teori dalam bentuk narasi. Hal ini karena nadham-nadham tersebut mengandung nada-nada yang enak untuk dinikmati. Meski di saat yang sama, menyusun nadham juga jauh lebih sulit dari pada menulis narasi.
Dan, Ibnu Malik adalah satu satu pakar nadham pada saat itu. Ia tidak menemukan kesulitan berarti dalam menyusun kitab dengan model ini. Tak syak lagi, beberapa kitabnya pun disusun dalam bentuk nadham. Tak main-main, jangankan ratusan, nadham kitabnya mencapai ribuan. Sebut saja kitab al-Kafiyah al-Syafiyah yang mencapai 2757 bait. Juga kitab al-A’lam bi Mutsallats al-Kalam yang berisi 3000 bait. Sungguh kemampuan yang fenomenal.
Imam Ibnu Malik dikenal produktif menulis banyak kitab. Dan, hampir semua kitabnya berbicara tentang gramatika Arab. Di antaranya adalah al-Umdah dan syarh-nya (penjelasan), al-Tashil dan syarh-nya, Lamiyah al-Af’al, al-Taudhih fi I’rabi Musykilatin min al-Jami’ al-Shohih, al-Nadhmu al-Aujaz dan syarh-nya, al-Fawaid al-Nahwiyyah, ‘Uddatu al-Hafidh wa umdah al-Lafidh fi al-Nahwi, Ijaz al-Ta’ruf fi ‘Ilm al-Tashrif, Sabak al-Mandhum wa fakk al-Makhtum fi al-Nahwi, kitab al-arudl dan sebagainya.
Kitab lainnya yang terkenal adalah al-Khulashah yang kemudian dikenal dengan kitab Alfiyyah ibnu Malik. Kitab ini merupakan ringkasan kitab al-Kafiyah, terdiri dari 1002 bait. Namun, sering disebut 1000 bait karena 2 bait yang tak terhitung adalah contoh-contoh, bukan kaidah inti. Kitab itu membahas detail aturan gramatika Arab. Mulai dari karakterisktik kata benda (isim), kata kerja (fi’il), objek / sasaran (maf’ul) yang punya banyak variasi, harful jarr beserta faidah-faidahnya, aturan membuat plural (jama’), mengucap panggilan (nida’) dan sebagainya. Sebagai kitab gramatika, Alfiyyah terbilang lengkap. Hampir semua aturan bahasa Arab tercakup di dalamnya.
Tak hanya itu, bait-bait dalam kitab ini juga menggambarkan sifat manusia. Meski secara leksikal adalah kaidah bahasa Arab, sering kali mengandung isyarat. Di antaranya adalah tentang keberanian mengatasi ketakutan, adab memanggil seseorang, ilmu ladunny (dapat memperoleh pengetahuan tanpa belajar) yang hanya dimiliki sedikit orang, keharusan orang untuk beristiqamah dalam kebaikan dan sebagainya.
Tak hanya itu, bait-bait dalam kitab ini juga menggambarkan sifat manusia. Meski secara leksikal adalah kaidah bahasa Arab, sering kali mengandung isyarat. Di antaranya adalah tentang keberanian mengatasi ketakutan, adab memanggil seseorang, ilmu ladunny (dapat memperoleh pengetahuan tanpa belajar) yang hanya dimiliki sedikit orang, keharusan orang untuk beristiqamah dalam kebaikan dan sebagainya.
Ada cerita menarik seputar kitab ini. Sebagaimana kitab umumnya, kitab ini dimulai dengan muqaddimah (pembukaan) yang terdiri dari 7 bait. Ibnu Malik memulai dengan memuji Allah dan mengucap shalawat kepada Nabi. Dengan rendah hati, pada bait berikutnya, ia menulis bahwa Alfiyyah yang ia susun melampaui kitab Alfiyyah karangan imam ibnu Mu’thi, pakar gramatika sebelum Ibnu Malik (faiqatan alfiyyata ibn Mu’thi). Sampai pada bait ini, ia sempat berhenti karena takut mengidap penyakit sombong (takabbur). Namun, setelah beberapa saat, ia mampu melanjutkan bait kitab ini sampai selesai.
Di Indonesia, kitab ini dibaca hampir seluruh warga pesantren dan sekolah/madrasah untuk mendalami ilmu Nahw dan Sharf. Sebab, kitab ini merupakan salah satu kitab Nahw dan Sharf terlengkap dibanding kitab lain yang umum beredar di Indonesia. Sebut saja kitab al-Ajrumiyyah (karangan imam al-Ajrumy), Umrithy (250 bait) (karangan imam al-’Umrithy) dan Mutammimah (karangan Imam Syamsuddin Muhammad ibn Syaikh Muhammad al-Ro’iny). Kitab Alfiyyah ini menempati urutan teratas, baik kelengkapan maupun tingkat kesulitannya.
Kitab ini banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Salah satu terjemahan yang terkenal adalah karya KH. Bisri Musthofa, ayahanda KH. Musthofa Bisri. Kitab terjemahan ini berbahasa Jawa. Karena bahasanya yang familiar dan mudah dicerna, kitab ini pun menjadi acuan dalam mempelajari Alfiyyah. Sebab, tak jarang, KH. Bisri Musthofa memberikan penjelasan yang mendalam dalam beberapa soal.
Semasa hidupnya, Imam Ibnu Malik mendedikasikan hidupnya untuk membenahi dan meluruskan bahasa Arab. Sehingga, ia didaulat menjadi imam ilm arabiyyah (imam ilmu bahasa Arab). Ia menjadi rujukan dalam soal lughat al-arabiyyah (kosa kata Arab) dan nahw wa sharf.
Kehebatannya diakui oleh para ulama pada masa itu. Di samping ahli gramatika, Ibnu Malik juga dikenal sebagai ahli ibadah. Ia benar-benar menjaga akhlak dan rajin melakukan ibadah sunnah. Ia sempat ditunjuk menjadi imam besar di daerah al-Adiyah.
Imam Ibnu Malik wafat pada 672 H, usia 72 tahun. Ia dimakamkan di Damaskus, kota yang menempa dan membesarkan dirinya. Bagi peminat pengetahuan, kepergiannya adalah kerugian yang tak terkira. Ialah ulama besar dengan sumbangsih ilmu yang sangat berharga. Ia telah menulis banyak karya. Penguasaannya akan gramatika membuat namanya terkenal di jagad raya, sebagai pakar gramatika kelas dunia. (M. Khoirul Muqtafa)