MENGGIGIT KARET SETIP

Saat itu saya duduk di kelas 1 SMP, sebagai anak kecil yang belum tentu bisa mendapatkan satu permen ting-ting jahe dalam satu minggu.
Kami hidup sederhana sekali, sehingga saya dan adik-adik jarang mendapatkan permen atau es lilin yang biasa dinikmati anak-anak tetangga yang lebih mampu.
Saya sering mencium aroma wangi dari permen dan kue-kue mereka, dan bertanya-tanya kapan saya bisa menikmati sedikit saja dari kenikmatan mereka.
Suatu hari, saya didudukkan di sebelah teman wanita di kelas, yang saat membuka kotak pinsilnya, tercium oleh saya aroma manis dari karet penghapusnya (setip) yang berwarna biru muda cerah.
Saya memandangi permen itu sambil bertanya-tanya, apakah rasanya seenak permen dan kue yang wangi-wangi itu. Selama pelajaran berlangsung di kelas 1 SMP itu, saya tidak bisa melepaskan bayangan dari rasa enak dari setip yang wangi itu.
Saat istirahat, teman wanita saya itu meninggalkan setipnya di atas meja.
Saya tidak keluar kelas, menunggu sampai tidak ada orang, … dan dengan jantung yang berdegup sangat keras, saya mengambil setip itu, membawanya pelan-pelan ke mulut saya, … dan menggigitnya.
Yaachhh … rasanya seperti karet!
Saya menaruhnya kembali, dan berjalan ke luar kelas.
Mata saya nanar dan memburam dengan selaput air mata, saya memandangi anak-anak kecil lain yang ceria, sambil bertanya … mengapakah aku yang lain? 
Mengapakah aku yang demikian udik dan kekurangan, sampai aku harus menggigit karet setip untuk mengetahui bahwa ia tak seenak permen?
Saya pulang dalam kegalauan yang kelam.
Di rumah saya tak banyak bicara. Tapi tetap sibuk mengurusi makan dan minum adik saya yang masih kecil, saat Ibu memasak untuk makan malam kami yang sederhana.
Hati saya beku. Semuanya tampak abu-abu.
Dan saya mendiamkan diri, berharap bisa mendengar bisikan, bahwa hidup kami sekeluarga akan membaik.
Saya tidak mendengar apa pun. Tapi hati saya yang lemah berharap, jika saya tetap mencari, saya akan menemukan.
… dan tahun-tahun yang panjang dan pelik berlalu, dan semuanya berubah tanpa saya sadari, mungkin karena saya terlalu sibuk meningkatkan nilai saya bagi sesama, daripada sibuk meratapi kemiskinan.
Tuhan, terima kasih atas jawaban yang indah bagi semua pertanyaan-pertanyaanku di masa kecil yang miskin dan bersahaja dulu.
Engkau Tuhanku, Tuhan kami, yang memiliki waktu. Sehingga sesungguhnya Engkau saat itu tersenyum saat melihatku sampai menggigit karet setip itu, karena Engkau akan menjadikanku sebagaimana aku hari ini.
Karenanya, Tuhanku, aku berbakti kepadaMu dengan seutuh-utuhnya pengabdian.
Ibadahku, kebaikanku bagi sesamaku, hidupku, dan matiku adalah seluruhnya untukMu.
Dengan namaMu, karenaMu, dan untukMu.
Terima kasih Tuhan.
Sekarang, aku mohon Engkau membahagiakan dan menyejahterakan semua saudara dan sahabatku … yang mungkin tadi juga tersenyum saat membaca aku menggigit karet setip.
Aamiin

Recent Posts

comments powered by Disqus