Jl braga bandung.......

Quote:
BRAGA
Quote:
Spoiler for sejarah masa lalu 
Jalan Braga di Kota Bandung memiliki sejarah panjang dan sangat dikenal. Jalan ini terletak persis di jantung kota dan berhimpitan dengan Jalan Asia Afrika yang dikenal dengan Gedung Merdeka.
Konon jalan sepanjang lebih kurang 700 meter ini dibuat ada kaitannya dengan pembuatan jalan Anyer-Panarukan oleh Daendels Tahun 1808-1811.Selain itu, juga terkait dengan praktik politik Tanam Paksa yang diberlakukan Belanda dari tahun 1830-1870.
Saat itu, ada rencana menjadikan Bandung sebagai ibukota negara. Untuk mempersiapkan segala sesuatunya berbagai bangunan penting dibuat Belanda di kota ini. Salah satu di antaranya adalah rumah pelelangan kopi (coffe per house).
Setiap transaksi di rumah pelelangan kopi yang kini menjadi Balai Kota tersebut, kemudian barangnya dikirim melalui Kantor Pos yang letaknya tidak jauh. Untuk mengangkut kopi itulah lalu dibuat jalan tembus yang dinamai Jalan Pedati.
Kenapa dinamai Jalan Pedati? Karena jalan yang lebarnya sekitar 10 meter ini hanya dapat dilewati oleh pedati. Kondisinya pun becek dan berlumpur kalau musim hujan. Namun di penghujung tahun 1870-an, jalan ini berkembang menjadi sebuah ka-wasan elit kala itu.
Perkembangan jalan ini tak terlepas dari keberadaan sebuah toko kelontong bernama de vries. Toko ini selalu dikunjungi petani Priangan yang kaya raya (Preanger Planters). Para preanger planters tersebut membeli kebutuhan hidup sehari-hari di toko de vries.
Ramainya toko dikunjungi oleh petani keturunan Belanda ini membuat kawasan sekitarnya menjadi hidup. Berlahan tetapi pasti mulai berdiri bangunan baru di sekitarnya. Mulai dari hotel, restoran, gedung bioskop hingga bank.
Tidak diketahui pasti muasal berubahnya nama Jalan Pedati menjadi Jalan Braga. Ada banyak versi yang berkembang di kalangan masyarakat. Versi pertama menyebutkan di kawasan ini saat itu terdapat group tonil bernama Braga. Dan nama group tonil itulah yang kemudian diabadikan sebagai nama jalan ini.
Versi lainnya menyebutkan Jalan Braga diadaptasi dari nama Dewi Puisi Bragi. .Masyarakat setempat juga memiliki legenda sendiri terhadap nama Braga ini. Menurut Ketua Paguyuban Warga Braga Kota Bandung, David B. Sediono, nama Braga berasal dari kata Sunda Baraga.
“Baraga itu artinya jalan-jalan menjelajahi Sungai Cikapundung. Kebetulan di dekat Braga sini ada Sungai Cikapundung. Dan masyarakat saat itu suka menghabiskan waktu dengan baraga di Sungai Cikapundung,” ungkap David B. Sediono, yang ditemui SH.
Terlepas dari berbagai versi nama yang beredar, yang pasti Jalan Braga kemudian menjadi sebagai sentra perdagangan dan jasa yang diperuntukkan bagi kaum Belanda. Di Jalan Braga inilah sinyo dan nonik Belanda berbelanja dan rendezvous.
Karena merupakan kawasan elite maka tidak sembarang toko dan tempat usaha lainnya yang diijinkan didirikan di Jalan Braga. Butik Au Bon Marche, contohnya, yang hanya menjual pakaian impor dari Paris. Keberadaan butik inilah yang membuat Bandung dijuluki Parisj van Java.
Kemudian ada toko jam Stocker yang hanya menjual jam buatan Swiss, toko bunga Van Doup, toko mobil pertama di Hindia Belanda Fuchs & Rents hingga penjahit August Savelco yang menjadi langganan tokoh penting dari JP. Coen hingga Bung Karno.

Spoiler for masa kini
Seiring dengan perjalanan waktu, kejayaan Jalan Braga lambat laun mulai me-redup. David menyebutkan perubahan drastis kawasan ini sangat terasa antara tahun 1970-1980-an. Paradigma pembangunan yang digembor-gemborkan oleh penguasa kala itu membuat kawasan Jalan Braga semakin semrawut dan rusak.
Menurut David B.Sediono, sebelum tahun 1970-an ada pakem yang sangat dipatuhi. Di antaranya pemilik bangunan tidak boleh membangun gedungnya lebih dari 2 lantai. “Selepas tahun 1970-an, dengan alasan pembangunan, gedung-gedung dibongkar dan di-bangun semaunya sendiri. Akibatnya Jalan Braga justru semakin semrawut,” jelasnya.
Alhasil dari sekitar 150-an bangunan yang ada, tinggal 50 persen saja yang masih berwajah asli. Sementara 25 persen lainnya telah direnovasi menurut selera modern. Yang ironis, 25 persen lainnya justru dibiarkan terbengkalai. Tercatat sekitar 25 gedung yang kini seakan tak bertuan lagi
David B.Sediono mengungkapkan, ada sebuah BUMN yang memanfaatkan sebuah bangunan sebagai gudang. “Bangunan eks Butik Au Bon Marche itu padahal punya nilai sejarah penting. Di gedung itu dulu pemerintah Indonesia menyimpan arsip-arsip geologi penting agar tidak jatuh ke Belanda,” katanya.
Kondisi gedungnya punya seakan tak tersentuh perawatan. Beberapa bagian bahkan mulai lapuk di makan usia. Menurut David B. Sediono, dirinya sebenarnya telah berusaha meminta agar BUMN si empunya gedung memperhatikan dan merawat ge-dung tersebut. Tapi sampai detik ini perhatian yang diharapkan tak digubris.
Denyut nadi perekonomian sekarang memang masih terasa di Jalan Braga. Ada toko kue, bank, restoran, toko pakaian hingga perkantoran. Namun denyut nadi Jalan Braga jauh berbeda dibandingkan di era jayanya dulu.
Yang menarik justru fenomena di ujung utara Jalan Braga. Selepas perempatan Jalan Braga-Suniaraja, detak kawasan ini semakin kencang mulai malam hingga dini. Kehadiran rumah karaoke, kelab malam serta tempat billiard memang membuat kawa-san ini lebih hidup dibandingkan bagian lain di Jalan Braga.
Namun kehadiran tempat hiburan ini justru membuat pamor Jalan Braga menjadi jelek. Imej Jalan Braga kini tak lebih dari sebuah lokalisasi prostitusi terselubung. “Sejak zaman Belanda yang namanya Jalan Braga selalu bersih dari prostitusi. Tapi sejak tahun 1980-an saat banyak tempat hiburan malam diijinkan dibuka, Jalan Braga seakan tak lagi bersih dari keliaran wanita penggoda,” ungkap David B. Sediono.
Sebenarnya kawasan Jalan Braga ini masih memiliki nama besar untuk dikembangkan sebagai obyek pariwisata. Dengan syarat penataan ulang harus dilakukan di kawasan ini.
Salah satu pihak yang peduli terhadap kawasan Jalan Braga adalah Bandung Heritage. David B.Sediono yang juga adalah Ketua Proyek Braga Bandung Heritage, mengatakan, pihaknya telah menawarkan konsep revitalisasi Jalan Braga seperti semula.
Jalan Braga akan dikembalikan fungsinya seperti dulu lagi. Dengan melakukan pe-nataan usaha dan bangunan yang ada. Diakui David B. Sediono untuk mewujudkan konsep ini tidaklah mudah.
Pemkot Bandung sendiri bersama investor telah mempunyai rencana sendiri. Di salah satu eks bangunan yang ada, mereka berencana membuat Braga City Walk. Penataan versi mereka adalah dengan membangun hotel berbintang, apartemen serta twin tower untuk menghidupkan kembali kawasan Jalan Braga.
Pembangunan Braga City Walk ini ada kaitannya dengan rencana penyelenggaraan ulang tahun Konperensi Asia Afrika Tahun 2005 yang kemungkinan besar diselenggarakan di Kota Bandung. Namun penataan de-ngan Braga City Walk ini dinilai tidak efektif.
Menurut David B. Sediono, keberadaan Braga City Walk justru akan membuat Jalan Braga makin semrawut. Infrastruktur yang ada sama sekali tidak mendukung. Termasuk kondisi jalan yang sangat sempit yang berp-o-tensi menimbulkan kemacetan. Kemudian ketiadaan lampu penerangan jalan di malam hari yang sangat minim saat ini serta keterbatasan sarana air bersih
.
Quote:
Spoiler for tempo dulu 

Spoiler for tempo dulu 

Spoiler for tempo dulu 

Spoiler for tempo dulu 

Spoiler for tempo dulu 

Spoiler for tempo dulu 
Quote:
Spoiler for masa kini 

Spoiler for masa kini 

Spoiler for masa kini 

Spoiler for masa kini 

Spoiler for masa kini 

Spoiler for masa kini 

Spoiler for masa kini 
Quote:

Recent Posts

comments powered by Disqus